6. Hostage to Fire

44.3K 2.5K 83
                                    

Aku membanting pintu mobil, terlalu kesal karena macet yang membuatku datang terlambat. Setelah melampiaskan kekesalan pada pintu mobil dengan menimbulkan suara yang cukup keras dan menyakitkan, aku menggulung kemeja putih hingga ke siku, mengunci mobil dan menyalakan alarm maling.

Pandanganku beralih pada restoran bergaya mediterania, di sisi kiri dan kanan bangunan itu dipenuhi beberapa bunga yang terawat dan hijau. Aku melirik pintu masuk yang dijaga dua orang pengawal. Restoran ini juga terlalu sepi, tak seperti biasa. Mataku memicing, menangkap kecurigaan. Sambil terus berjalan, aku memasuki pintu dan langsung disambut pelayan. Ia membawaku ke ruang VVIP.

"Tumben sepi, Mbak?" tak bisa menutupi keheranan, aku menanyai pelayan wanita itu dengan cukup sopan. Responnya sangat sederhana. Ia tersenyum seraya mengangguk.

"Malam ini restoran sudah dibooking," balasnya, "bukankah anda termasuk undangan dari Pak Raymizard?"

Kalau ada yang bertanya kapan wajah melongo bisa kutampilkan, maka jawabannya adalah sekarang. Aku sampai mengedip untuk menguasai diri sebelum menghimpun amarah ketika berhadapan dengannya nanti.

"Silakan," si pelayan membuka pintu ruangan dan ia menunduk hingga aku melewatinya, wanita itu menutup pintu dengan pelan.

Aku melangkah mendekati pria berambut army look. Ia memakai tuksedo rancangan Calvin Klein di mana kedudukan kerah dan manset empat tombol bersama dengan dua saku depan flap, saku dada, dan bagian kemejanya penuh dengan kancing interior. Sementara celananya berlipit dan jahitan satin dengan on-jahitan kantong. Harga terbaru setelan ini mencapai 550 dolar amerika. Dagunya tegak dan matanya tajam, jenis tatapan yang membuat siapapun terintimidasi. Aku berdiri tepat di depannya, tak sekalipun aku memejamkan mata untuk menenangkan diri agar tidak meninjunya dengan segera.

"Aku sangat tersanjung atas kemurahan hati Anda, Tuan." Kataku, nadaku teramat sinis. Jika saja, intonasiku diubah dalam bentuk udara, aku yakin, siapapun yang menghirupnya akan segera kejang-kejang. "Anda bersedia mengeluarkan uang untuk membooking tempat ini."

Laki-laki itu tersenyum. Ia mengangguk ramah lalu menarik sebuah kursi untukku. "Silakan duduk, Sayang."

Aku hampir melempar tas jika tak menyadari seorang pelayan yang masuk. Untuk sejenak, konsentrasi dan amarah kutekan serendah yang kubisa lalu saat si pelayan keluar dengan membawa catatan menu yang dipesan olehnya dan menu yang terpaksa kupesan, aku segera bersikap tak tersentuh lagi. Seluruh tubuhku kaku dan mataku langsung menajam seolah aku bisa mencabik-cabiknya jika mau.

"Apa kabarmu, Sayang?"

"Aku berada di depan Anda, itu artinya aku cukup buruk, bukan?" sahutku, enggan bersikap terbuka dan manis. Aku tak bisa berperilaku seperti seorang penjilat sehingga apapun yang kulakukan sekarang, itu semata lahir dari hatiku, tanpa pura-pura.

"Ah, kau masih anak gadisku yang suka merajuk rupanya."

"Anak gadis yang Anda hilangkan dari dokumen sipil Anda. Oh ya, aku juga lupa, ibuku juga kau hapus," ralatku, sekalipun memiliki nada yang kering-khas dari neraka-aku menurunkan nada dan sedikit berbisik, "sebuah langkah politis yang bagus ya?"

Ia malah tertawa. Dua matanya segaris. Kepalanya menggeleng beberapa kali dan entah kenapa, ada hal yang coba ia sembunyikan. Di lain hatiku, aku sadar, betapa aku merindukan tawanya. Suara tawa seorang ayah yang membuatku merasa hangat dan disayang. Suara tawa yang begitu kuharapkan ketika aku berprestasi di sekolah atau di kampus. Suara tawa yang-

Telah lama hilang dari hidupku.

"Kadang, menjadi orang baik terlalu pasaran, untuk itu seseorang perlu menjadi pemeran antagonis. Bukankah kehidupan adalah panggung sandiwara?"

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang