Our First Fight

3.8K 305 10
                                    

November 2015
We had our first fight and her first "i love you"
-----------------------------------------------------------

ERICA POV

Hari ini aku menemani Filly kontrol ke rumah sakit. Sejak kecelakaan itu pergelangan kaki kanannya masih belum berfungsi sempurna. Kuperhatikan Filly yang mendengarkan instruksi suster sambil melakukan terapi. Satu jam berlalu, kami berjalan ke arah parkiran. Dari jauh kulihat sosok yang begitu kukenal, papa. Awalnya tak begitu kuhiraukan, tapi tunggu dulu. Papa bersama siapa? Kuperhatikan lebih detail. Kulihat seorang perempuan yang kutebak seumuran denganya. Papa memegang tangan perempuan itu. Tekanan darahku naik seketika. Aku langsung berjalan cepat mendekati papa.

"Er, kenapa?"

Pertanyaan Filly tak kugubris. Dia berusaha menyusulku namun jelas tak akan bisa. Entah, yang aku tahu aku hanya ingin mendamprat kedua orang separuh baya itu.

"Dia siapa, Pa?" Tanyaku dengan nada tinggi.

Mereka terkejut. Papa melepaskan genggaman tangannya. Perempuan itu menunduk berusaha menyembunyikan tangisnya.

"Dia teman papa. Kenalin, ini Tante Febby"

"Mama ninggalin kita belum genap 2 tahun dan papa sudah punya 'teman' baru? Secepat itu pa?"

Kataku mengatakan teman dengan penuh penekanan.

"Erica, tante cuma..."

"Teman? Persetan! Ga akan ada yang bisa ganti posisi mama! Camkan!"

Tante Febby berusaha menjelaskan tapi otakku sudah dipenuhi pikiran buruk tentang dia dan papa. Aku tak peduli apapun yang dikatakannya. Kutinggalkan mereka dan berjalan ke arah taman. Filly menatapku mematung.

-----------------------------------------------------------
Kuambil batu kecil di dekat kakiku, kulempar ke sembarang arah. Fuck! Aku tak henti-hentinya mengumpat. Tak ada yang bisa menggantikan posisi mama. Apapun yang terjadi aku tidak akan merestui hubungan mereka. Tidak akan pernah.
Kulihat ada bayangan di rumput. Aku menoleh kebelakang. Filly.

"Aku lagi pengen sendiri"

Filly duduk di sebelahku. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya takut emosiku meledak. Kami terdiam beberapa menit. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

"Hmm, Er..."

"Ya..."

"Papamu itu manusia yang butuh temen, buat cerita, buat sharing. Ga ada lo manusia yang betah kesepian dan sendirian. Apalagi kamu gak ngasih kasih sayang dan perhatian yang cukup buat papamu. Dia pasti kesepian dan cari teman lain. Sorry, tapi sikap kamu ke papa itu juga salah, Er. Dia cari kenyamanan dan mungkin Tante Febby yang bisa memberikan itu sekarang. Padahal seharusnya itu tugasmu"

Dari nada bicaranya, kelihatan kalau Filly berhati-hati.

"Cuma karena butuh temen?"

"Iya." Jawabnya yakin.

"Oh, okay. Papamu di Rusia udah 10 tahun. Dia juga sendirian. Dia juga kesepian. Dia juga butuh temen. Gimana kalo ternyata dia punya perempuan lain, ha? Memang kamu bisa terima? Tolong, Fil. Aku lagi pengen sendiri, sukur-sukur kalo kamu bisa nenangin aku. Bukan malah ceramahin aku!"

Aku emosi. Nadaku sedikit membentaknya. Dia terdiam. Matanya berkaca-kaca.

"Maaf... Yaudah kalo memang lagi pengen sendiri. Cepet baik ya, Er. Hati-hati nyetirnya. Aku pulang dulu ya. Makasih hari ini udah temani kontrol"

Dia berjalan menjauhiku. Aku sedikit merasa bersalah. Ini masalahku, tak seharusnya aku bawa-bawa keluarganya. Ingin mengejarnya tapi kakiku terasa begitu lemas. Masih tidak percaya dengan apa yang tadi kulihat. Selang beberapa menit HPku berbunyi, chat dari papa.

"Er, tolong jangan berpikiran buruk. Suami Tante Febby baru kecelakaan, sekarang koma. Papa hanya berusaha menenangkan. Maaf kalau cara papa salah, karena kami memang dekat, kami teman lama. Papa pernah ada di posisinya, bagaimana hati papa benar-benar hancur melihat mamamu koma. Kamu benar, tidak ada yang bisa mengganti posisi mamamu dan papa tidak ada niatan sedikitpun untuk mencari pengganti mama. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa lihat suami Tante Febby dirawat di kamar 103. Maafkan papa ya."

Idiot! Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri. Kenapa sudah seusia ini masih saja susah mengontrol emosi. Selalu bermain dengan pikiran sendiri tanpa menanyakan kebenarannya lebih dulu. Tuhan, aku pasti menyakiti papa dan Filly tadi. Aku bersyukur ketakutanku tidak akan pernah terjadi...

Filly! Aku tiba-tiba teringat dia. Kuambil HPku. Berulang kali kutelepon tidak diangkat. Aku langsung bangun dari tempat dudukku dan berlari ke arah parkiran. Tidak kutemui sosoknya. Aku memasuki mobil dan kusetir mobilku secepat yang aku bisa ke arah rumahnya. Tak jauh dari rumah sakit kulihat dia berdiri di halte bus. Kuhentikan mobilku sembarangan di pinggir jalan. Kudekati dia dengan perasaan bersalah. Kulihat matanya masih basah.

"Fil, maaf ya" kataku dengan suara lemah.

"Aku lagi pengen sendiri" kali ini aku yang diusir.

"Please, maafin aku" kataku sambil menunjukkan chat papa.

"Maaf, aku ga bermaksud dan ga seharusnya bawa-bawa papamu. Aku juga akan belajar nahan emosi. Aku masih buruk dalam hal itu" kataku benar-benar memohon.

Filly menangis.

"Duh, Fil. Jangan nangis dong. Kenapa sih gampang banget nangis. Banyak orang, ga enak dilihatin. Please please"

Tangisan Filly malah semakin kencang.

"Please please maafin aku. Udah ya berhenti nangisnya."

Kuusap rambutnya. Beberapa detik kemudian dia berhenti menangis. God, thank you!

"Er, tolong jangan bentak aku lagi. Aku paling ga bisa dibentak orang yang aku sayang"

Kalimatnya barusan membuatku tercengang. Did she just say that she loves me?

"Kamu nangis gara-gara aku bentak atau karena bawa-bawa papamu?" Tanyaku penasaran.

"Gara-gara kamu bentak aku"

"Serius?" Tanyaku tak percaya.

"Iya. Papaku pernah janji kok kalau ga akan cari pengganti aku sama mama. Papa juga bilang kalau cewek Rusia jelek-jelek hahaha. Dan aku percaya. Emang kamu? Yang selalu negatif thinking sama papa sendiri. Yang selalu nganggep pemikiranmu paling bener. Yang emosinya masih labil. Buruk banget sifatmu yang ini. Dikurangin pelan-pelan ya"

Aku mengangguk. Lega. Kukira dia akan tersinggung dengan perkataanku tadi.

"Gapapa deh dijelek-jelekin yang penting dimaafin"

"Dengan satu syarat" katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya.

"Oh please jangan minta yang aneh-aneh" kataku lemas.

"Peluk" katanya manja sambil merentangkan kedua tangannya.

Aku langsung memeluknya. Mengacak-acak rambutnya seperti adik bayiku.

"Aku sayang kamu. Jangan dibentak lagi ya" katanya polos.

Banyak yang menatap kami dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Aku hanya ingin mendekapnya, salah satu perempuan dengan hati paling lembut yang pernah kukenal. Dibentak dikit aja nangis. Ucapku dalam hati.

The First Girl I Love (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang