Chapter 1

3.4K 302 179
                                    

Sakit.

Rasanya sakit bagai dihujam beribu pedang. Ulu hati, jantung dan kepalanya berdenyut hebat. Tangan kakinya seakan mati rasa. Dicobanya untuk menggerakkan tangan, hanya getaran hebat yang terasa.

Pemuda itu menghela napas. Menyeka peluh di dahi kemudian menyamankan diri di sofa.

Namanya Satria Wilaga. Pemuda berambut hitam legam dan berkulit sawo matang. Matanya belok, pupil cokelat tua. Ciri khas pemuda Indonesia.

Tentu, ia warga Indonesia.

Tak akan ada yang merubah fakta tersebut hingga sekarang. Terkecuali sosok pria bule pirang yang menghantuinya tiap malam.

"Den, ayo dicicipi bubur kacang hijaunya. Masih suam. Ini Mbok yang masak loh."

Suara merdu menyambang telinga. Satria menatap letih sosok ibu paruh baya yang berjongkok sopan. Di tangan keriputnya terdapat mangkuk berisikan bubur kacang hijau yang siap disantap. Mengangguk, Satria pun mendudukkan dirinya. Mengambil mangkuk, dan menyendok pelan.

"Enak, Mbok. Makasih." Satria tersenyum. Gurih dan manis terasa pas dicecap.

Mbok tersenyum kalem. Ia pun membetulkan kain lap yang tersampir di pundak. Posisinya masih berjongkok, seakan menunggu hingga habis lahap. Satria meneguk ludah. Maka dipercepatnya acara menyendok, berserdawa kecil saat perutnya terasa hangat. Rasa meriang seakan hilang ketika bubur hangat itu menyapa.

"Duh, jadi merepotkan Mbok, ya. Maaf Mbok semoga saya besok sudah sehatan ya," ujar Satria sambil menyodorkan mangkuk.

Mbok menggeleng. Ia menaruh mangkuk di meja panjang, kemudian menangkup tangan Satria yang bergemetar.

"Sakit ya, Den?" tanyanya pelan. Bibirnya menekuk ke bawah, alis setengahnya mengerut. Kerut muka terlihat lebih banyak dari biasanya.

Satria hanya diam. Sakit? Tentu sakit. Bohong kalau dia menyangkal.

Pemuda itu pun mengangguk. "Iya sakit, Mbok. Apalagi sedari kemarin."

Raut muka Mbok bertambah kalut. "Pascakasus kemarin ya? Tapi kan sudah dipenjara, Den. Masih sakit juga?"

Satria bingung menjawab. "Yang bersedih dan marah kan bukan seorang saja, Mbok. Banyak yang sedih. Banyak yang bertikai. Kadang membela, kadang menuntut. Belum separah yang dulu sih. Dulu sakitnya sampai ke tulang. Kalau ini sakitnya hanya di organ. Tapi nyut-nyutnya terasa."

"Apalagi di sini," Satria meraih dada kiri, "Sakitnya tuh di sini, Mbok."

Kain lap terlempar ke wajah tampan pemuda.

"Ih! Den bagus mah kalau diajak ngobrol, malah bercanda! Saya serius, Den!" tukas Mbok sambil menggebuk pundak Satria. Satria tergelak. Tapi lama-lama gebukan Mbok mantap juga.

"Aduh sakit Mbok! Udah!"

Mbok berkacak pinggang. Menyambar mangkuk, dan bergegas pergi ke dapur. Satria terkekeh. Ia pun setengah berteriak ke arah dapur, "Mbok! Aku mau sayur asem ya! Yang hangat biar mesra!"

Mbok menjerit kesal. Satria semakin tertawa lebar. Menggoda Mbok adalah tugasnya di kala ia terbaring sakit di rumah.

Tawanya mereda seiring tatapan matanya ke arah jendela. Terik siang menerpa ilalang di luar rumah. Suara anak kecil bermain petak umpat terdengar samar. Ibu rumahan berbelanja sayur di tukang sayur keliling, kasak kusuk berbincang gosip. Bunyi derum kendaraan hilir mudik.

Satria menatap kosong.

Segalanya terasa biasa. Tak ada yang terjadi. Tak ada kejadian yang patut dicemaskan. Tapi gemuruh di dada membuatnya sadar.

Lieve IndiëTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang