Chāyā Sakhi Tathya

518 15 21
                                    

So long to all my friends
Everyone of them met tragic ends
With every passing day
I'd be lying if I didn't say
That I miss them all tonight
And if they only knew what I would say

Di salah satu kamar di sebuah bangunan rumah megah, seorang wanita duduk di tepi ranjang. Di pangkuan wanita itu terdapat sebuah gitar berwarna cokelat. Dia memetik senar gitarnya, menciptakan alunan nada yang enak didengar. Mulutnya bergerak mengeluarkan suara merdu. Seirama dengan petikan gitarnya, dia mengalunkan satu lagu. Lagu yang menurutnya sangat menyentuh.

If I could be with you tonight
I would sing you to sleep
Never let them take the light behind your eyes
One day I'll lose this fight
As we fade in the dark
Just remember you will always burn as bright

Suara wanita itu saat bernyanyi terdengar lembut, membuat alunan lagu tersebut menjadi sangat indah. Petikan gitarnya senada dengan lirik-lirik lagu tersebut. Raut wajah wanita itu terlihat sendu, seakan-akan dia memahami maksud dari lagu yang dinyanyikannya.

Be strong and hold my hand
Time—it comes for us, you'll understand
We'll say goodbye today
And I'm sorry how it ends this way
If you promise not to cry
Then I'll tell you just what I would say

Penggalan lirik lagu itu terus ia nyanyikan. Raut wajahnya semakin sendu. Kedua matanya berkaca-kaca. Tetesan air keluar dari sudut matanya. Seiring mengalunnya lagu tersebut, tetesan air matanya terus mengalir hingga membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Seseorang masuk ke dalamnya. Orang itu wanita, hanya saja tubuhnya agak pendek.

"Nju, lagi ngapain?"

Nju menghentikan petikan gitar dan nyanyiannya. Punggung telapak tangannya mengusap wajahnya, mengikis air mata yang sedari tadi terus membanjir. "Eh kamu Mel. Enggak kok, aku tadi cuma lagi main gitar aja."

"Main gitar?" Mel menghampiri Nju di tepi ranjang, duduk di sampingnya, dan menatapnya heran. "Main gitar kenapa sampai nangis begitu?"

"Enggak, aku enggak nangis."

Bola mata Mel terputar ke atas. "Halah, Nju, Nju. Kelihatan banget kok kamu habis nangis."

Nju menundukan kepala, menatap gitar di pangkuannya. Wajahnya terlihat di permukaan gitar itu karena permukaan gitarnya sangat jernih. Sebuah raut sedih yang tak dapat diketahui apa sebabnya.

Mel menepuk pundak sebelah kiri Nju. Insting wanitanya sedikit memahami apa yang sedang dirasakan Nju. "Cerita. Ada apa?"

Nju menghela napas pendek. Dia menatap wanita di sampingnya dan mulai berucap. "Aku merindukan adikku. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya."

"Temuilah dia kalau begitu."

Nju menggeleng. "Aku tidak tahu apa tempat dimana adikku berada masih ada atau tidak."

Sebelah alis Mel terangkat, tak mengerti maksud ucapan temannya itu. "Memangnya dia berada dimana?"

"Waktu sebelum aku dijebloskan ke penjara, aku menyerahkan adikku ke sebuah panti asuhan," ujar Nju, menghela napas pendek dan melanjutkan perkataannya. "Memasukan dia ke panti asuhan bukan tanpa alasan. Aku ingin dia tidak mengalami penderitaan yang sama denganku. Aku ingin dia hidup normal selayaknya manusia, tidak seperti kakaknya."

Kesunyian mendadak muncul. Tidak ada lagi percakapan setelah Nju bercerita, hanya hembusan napas kedua wanita itu terdengar di dalam kamar. Mel tak berani melanjutkan obrolan karena dia mengerti maksud dari penjelasan Nju tadi. Sementara Nju hanya terdiam, kembali menatap gitar di pangkuannya. Lantas jemarinya memainkan senar gitarnya, membentuk nada-nada yang sama dengan lagu yang dia nyanyikan sebelumnya.

Psycho Detected (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang