14. Disappointed

3.5K 184 4
                                    

Kulajukan mobilku membelah jalanan dengan perasaan tak keruan. Deruman riuh kendaraan di luar mobil sama sekali tak mengusikku. Suara-suara klakson itu pun hanya lewat begitu saja dari telingaku.

Pikiranku mengembara terbawa pada percakapan antara aku dan Rayno, mantan Laura, satu jam yang lalu. Sebenarnya, bukan hanya tentang itu saja yang membuatku segelisah ini. Entahlah, mungkin inilah hari yang benar-benar sial untukku.

"Hanya sekedar informasi. Aku telah putus sebanyak 6 kali dalam sebulan ini, belum termasuk belasan perempuan lainnya yang mendekatiku," katanya saat kami hanya berdua di situ.

Saat itu, yang ingin kukatakan adalah ; Lalu saya harus peduli, begitu? Saya cukup memedulikan teman saya saja. Toh, pada kenyataannya, untuk menjaga satu hati perempuan saja anda tidak mengerti. Kalau saya ikut memerhatikan mereka semua dan membahas itu pada Anda. Saya tidak yakin kepala Anda masih akan utuh!

Tapi yang keluar dari mulutku bukanlah demikian.

"Ketika hati seseorang Anda sakiti berkali-kali. Suatu hari, cukup sekali penolakannya yang akan membuat Anda merasa menyesal disaat keadaan berbalik."

Lelaki itu justru terkekeh. Dia bercekak pinggang sementara kedua bahunya berguncang. Aku tahu dia menganggap remeh perkataanku atau bahkan mungkin lucu baginya. Aku sungguh muak dengan para pemain wanita karena beginilah hasilnya kalau mengingatkan mereka. Tidak sekali atau dua kali, tapi tiga kali. Sudah tiga kali aku berhadapan dengan orang seperti ini. Makanya, yang ingin kulakukan ketika melihatnya di rumah sakit saat itu adalah menghindar. Kabur.

Merasa tidak ada gunanya lagi aku berada di sana --lebih tepatnya dengan orang itu-- aku bergegas keluar, mengambil langkah lebar-lebar agar semakin menjauhinya. Aku sempat menoleh ke belakang setelah beberapa meter. Untung saja dia tidak menyusul menggangguku lagi.

"Mbak, tunggu. Mbak belum menemukan kunci itu bukan?" seorang petugas perempuan rumah sakit yang tadi sempat kutanyai mengenai hilangnya kunciku menahan kepergianku yang hendak menuju pintu keluar.

"Kunci Mbak ditemukan oleh salah satu dokter kami. Dan kunci itu masih di beliau," katanya memberiku secercah harapan baru. Tadinya kupikir aku akan membuat kunci baru saja daripada keadaan ini berbelit-belit menyusahkanku hingga harus berada di tempat ini lebih lama lagi.

Dengan senyum lega terpancar aku menanyakan lebih rinci tentang keberadaan kunci itu sekarang padanya.

"Ada bersama Dokter Spesialis Kandungan rumah sakit ini. Beliau sibuk hari ini, jadi hanya sempat menelepon pihak keamanan di sela pergantian pasien. Katanya, kalau ada yang merasa kehilangan kunci sebaiknya menemuinya di ruangannya," katanya lagi.

Aku mendesah dalam hati. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju ruangan dokter tersebut.

Kubelokkan arah langkahku ke sisi kanan, mendatangi meja tempat pendaftaran dan menjelaskan tujuanku ingin bertemu dokter di ruangan itu kepada perempuan di depanku.

"Sebentar ya, Mbak," katanya mulai memegang gagang telepon. Aku mengangguk. Diam saja ketika dia berbicara dengan seseorang di telepon. Aku dapat menebak bahwa siapa yang tengah diteleponnya pasti adalah dokter yang berada di dalam ruangan.

"Baik, Dok." Dikembalikannya gagang telepon itu ke tempat semula. "Tunggu sebentar ya, Mbak. Pasien yang di dalam akan keluar sekitar 5 menit lagi. Sehabis itu Mbak boleh masuk untuk mengambil kuncinya."

Aku mengangguk patuh. Setelah berterima kasih aku ikut mengambil tempat duduk di antara para wanita yang rata-rata jika kuperhatikan, semua pasien yang check up perut mereka terlihat telah membesar, menandakan usia kehamilan.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang