22. A Mad Old Woman

4.2K 231 66
                                    

Dia datang.

Itu yang bisa kutebak ketika menemukan seberkas cahaya memancar melalui celah terbuka dari pintu ruang kerja pribadinya yang tak tertutup rapat. Dan aku berdiam diri, bersembunyi di balik dinding sekat dengan segala pikiran semerawut memenuhi kepala. Tidak sabar rasanya ingin menerobos masuk ke ruangan itu. Tapi nyatanya aku tak punya nyali sampai ke sana. Aku tidak bisa. Melakukan hal itu tidak lebih seperti melakukan percobaan bunuh diri. Terakhir yang kutahu dia benar-benar enggan untuk melakukan segala jenis komunikasi.

Tatapanku memandang nanar lurus ke depan. Entah sampai kapan keadaan ini terus saja berlanjut. Untuk melihat suami sendiri saja, rasanya seperti ada sekat tak kasat mata yang membatasi di antara kami, seperti ada larangan tidak tertulis yang harus kupatuhi. Belum lagi, sosoknya yang tak bisa kulihat dari sini karena letak dan posisi persembunyianku yang menutup akses luas jangkauan mata agar bisa meneliti lebih jauh ke dalam.

Rama ....

Sedang apa dia di sana?

Sudahkah dia makan malam ini?

Atau bagaimana harinya di kantor kali ini?

Baik-baik saja atau anak buahnya banyak melakukan kesalahan?

Semua pertanyaan itu hanya bisa kusimpan dalam hati.

Aku teringat aku sudah menyiapkan beberapa makanan di meja makan. Sengaja melakukannya seperti malam-malam sebelumnya. Hanya untuk berjaga-jaga. Walaupun terkadang angan-anganku harus berujung pada kekecewaan karena dia biasa hanya mengacuhkan makanan-makanan itu tanpa menyentuhnya, bahkan tanpa mengetahuinya. Hingga menjadi dingin dan terlupakan seperti di sisa malam yang beranjak pagi.

Mencoba, mencoba, dan selalu mencoba ....
Aku mencoba untuk menyentuh sisi hatinya yang masih memiliki sisa romantisme padaku. Kuharap dia masih punya sisi itu di lubuk hatinya yang terdalam. Khususnya di tempat di mana dia mengukir namaku. Dulu.

Berhari-hari tidur tanpa ada dirinya di sisiku membuatku melemah karena perasaan rindu yang menyusup dalam sanubari. Aku rindu pelukannya, rindu tatapan hangatnya, rindu senyuman tulus yang menghilang dari wajah tampannya. Aku rindu semuanya. Itu yang membuat hidupku tanpa gairah meski Ibu selalu ada di sisiku. Karena pada kenyataannya, aku butuh keduanya. Bukan hanya dia atau dia yang satunya.

Tanpa sadar kaki ini sudah membawaku tepat berada di hadapannya, dan hanya berbataskan meja. Perasaan tidak bisa dibohongi. Diiringi derak suara angin karena guyuran hujan lebat di luar sana, aku terpekur ketika memandangi sosoknya yang tertidur di kursi. Kepalanya bersandar miring pada kepala kursi dengan posisi kedua tangan yang bersedekap di dada. Mataku menangkap sebuah pergerakan halus dari lipatan lengannya yang semakin mengerat.

Sepertinya dia kedinginan, instingku berbicara.

Maka dengan sigap aku mematikan AC yang rupanya sudah disetel dengan angka cukup rendah. Dia pasti menghidupkan AC itu setibanya di sini dan hujan belum turun dengan derasnya. Lagi, aku mengambil langkah mendekatinya sampai aku berdiri tepat di sampingnya. Melihatnya dari sedekat ini adalah hal yang kutunggu-tunggu dari tadi.

Aku rindu menyentuhnya ....

Rindu menyentuh tangannya dan menyentuh wajah apiknya ....

Terkadang bahkan untuk menyandarkan kepala di dadanya sambil menikmati ritme detak jantungnya sebagai musik penghantar tidur.

Itu adalah hal yang tidak bisa kulakukan lagi semenjak berhari-hari lalu.

Lama berkutat terhadap perasaan melankolis. Pada akhirnya aku berlutut sembari memandangnya penuh kerinduan. Sungguh wajahnya terlihat begitu damai saat tertidur begini. Tak ada raut dingin. Tak ada raut datar ataupun kesan acuh tak acuh di sana seperti yang sudah berhari-hari dia tunjukkan.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang