8. Agreement (Repost)

3.2K 160 9
                                    

Nilam meletakkan kembali roti berselai durian —yang menemani brunch-nya— tanpa minat. Bahkan wanita yang mengenakan pakaian atasan jenis turtle neck berlengan panjang serta bawahan yang merupakan rok di bawah lutut itu, belum sempat menggigit roti di tangannya ketika dia sudah lebih dulu men-judge melalui aroma bahwa rasa roti tersebut tidak enak.

Pikiran wanita itu kembali melayang kepada kejadian jam 5 subuh tadi ....

Bagaimanakah perasaanmu saat mengetahui keadaanmu terbangun dari tidur dalam keadaan tanpa pakaian selain selimut yang menutupi hingga sebatas dadamu? Nilam merasakannya dan tahu jawabannya. Ia lebih dari kacau. Ia merasa hancur.

Dan ia merasa kotor!

Terbangun dengan bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi. Hanya tangisan yang mengiringi bergulirnya penyesalan. Ia masih ingat bagaimana dirinya memberingsut duduk mencengkeram erat penutup tubuh satu-satunya itu. Setelah diidempetkannya punggungnya pada kepala ranjang, suara isakan terdengar beberapa kali lolos dari bibirnya. Bahkan semakin keras kala matanya mendapati beberapa bekas kissmark mengecap di lengannya hingga di hampir seluruh dada bagian atasnya.

Ia tidak berani melihat lebih jauh.

Apa yang sudah kulakukan? pikirnya pilu. Apalagi ketika menatap tangan yang baru saja digunakan untuk mengusap wajahnya terdapat cincin pernikahan, berjarak begitu dekat dengan matanya membuat perasaan bersalah wanita itu semakin membuncah berikut tekanan yang menyesakkan.

Tidak ... tidak! Digelengkannya kepalanya berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan itu dari pikirannya. Tangannya dilipat di atas meja sementara dia menyurukkan kepalanya di sana.

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tidak pernah Nilam merasa begitu tersesat seperti ini. Kegundahan itu seperti mengguncang otaknya hingga ia selalu gagal berkepala dingin. Sedari tadi ia selalu memerintahkan dirinya untuk lekas bersikap tenang, akan tetapi hatinya tidak bisa menyinkronkan sama sekali. Meski air shower yang dingin tidak lagi membasahi seluruh tubuhnya selama dua jam penuh, tapi telapak kaki dan tangannya masih sedingin empat jam yang lalu. Wajahnya masih sepucat saat dia bangun tujuh jam yang lalu.

Tidak ada wajah cerah begitu ia terbangun dari tidurnya bahkan seusai wanita itu keluar dari kamar mandi. Semakin ia menepis, semakin gencar pula ingatan itu memporak-poranda. Memaksa kembali wanita itu untuk mengingat perbincangan keduanya.

oOo

"Kamu ... sudah bangun?" Nada bariton yang berasal dari pintu kamar yang baru saja terbuka, membuatnya tersedak oleh air matanya sendiri. Di pintu, seorang lelaki telah berdiri dengan sebelah tangan memegang cangkir. Aroma vanila menguar dari wadah mungil berukiran cantik yang beralaskan piring mungil di bawahnya.

Alih-alih, otaknya sempat berpikir betapa orang asing ini lancang menyentuh perabotannya. Ini baru pertemuan kali keduanya dan laki-laki itu sudah pasti mengobrak-abrik dapurnya dilihat dari cangkir itu.

"Kamu-" Nilam menelan ludahnya berat.

Seolah mengerti apa patahan kata yang tidak sanggup diucap oleh Nilam, laki-laki itu memilih mengambil alih, "Maafkan aku," ujarnya penuh sesal.

Kata maaf itu tidak bisa membawanya ke malam tadi. Air matanya meluncur lagi. Lebih deras. Wanita itu benci perkataan maaf itu (atau dia juga benci terhadap orang yang mengatakannya). Jika tadi dia masih bisa menepis dan hanya menduga-duga. Kali ini keteguhannya telah habis meluruh. Sisa harapannya telah menguap sampai tiada bersisa. Mereka memang melakukannya.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang