2. A Wife (More)

5.3K 213 10
                                    

Kini aku dan Rama tengah menikmati sarapan di meja makan.

"Ram ...," aku memulai percakapan, Rama menghentikan tangannya yang memegang sendok hendak memasukkan benda yang penuh nasi goreng itu ke mulutnya.

Kemudian tatapannya terarah kepadaku "Kenapa, sayang?" tanyanya.

"Bolehkah aku meminta sesuatu?" Kupegang erat sendokku. Berusaha meminimalisir rasa takutku.

Aku takut dia marah atas permintaan yang akan kuucapkan setelah ini.

Rama mengerutkan keningnya, "Apa itu?"

Tangannya terangkat hendak melanjutkan memakan nasi gorengnya.

"Ak -aku ... aku ingin kamu menikah lagi," cicitku. Mataku sudah terpejam siap menerima amarahnya.

Siapa yang tidak marah jika sang suami mendengar permintaan semacam itu keluar dari bibir istri tercintanya?

Selama ini Rama selalu melakukan yang terbaik untukku. Dan dia tidak pernah memarahiku. Jika kali ini dia marah, ini adalah rekor! Ya, rekor yang sangat buruk.

"Apa kamu sedang tidak enak badan?" pertanyaan itu meluncur dari mulutnya.

"A-apa?!" aku tergagap, tidak percaya dengan respon suamiku.

"Kita akan ke dokter setelah pulang kantor nanti ...,-"

"Apa?"

" ..., atau kamu mau setelah kita selesai sarapan saja? Akan kutelpon sekertarisku kalau begitu, aku akan berangkat siang saja."

"Ap-apa?!" Seperti orang bodoh saja aku mengulangi kata tidak berguna itu. Kulihat Rama segera menghabiskan sisa sarapannya. Setelah selesai, dia mengelap bibirnya dengan tisu.

Dia menghela napasnya dengan berat.

"Beberapa hari ini kamu sedikit aneh, aku selalu perhatikan itu. Kamu sering melamun, tidak bisa tidur ..., makanmu juga sedikit. Dan barusan kamu berbicara melantur."

Aku melepaskan pegangan pada sendokku. "Tidak, Ram. Aku tidak melantur. Aku teramat sadar untuk berbicara denganmu," sergahku.

"No, Nilam, kamu tidak sadar. Bagaimana bisa kamu mengaku sadar kalau yang kamu bicarakan saja tentang permintaanmu agar aku menikah lagi?" Dia mengelengkan kepalanya seperti ... frustasi?

"Ram, tapi ... tapi aku—"

"Pokoknya nanti sore kita ke dokter!" ucapnya kali ini tidak mau dibantah. "Aku baru ingat aku punya meeting penting pagi ini yang tidak bisa ditunda." Pergerakannya begitu cepat sampai-sampai aku baru sadar dia sudah tidak ada di tempat duduknya lagi setelah terdengar bunyi bantingan dari pintu kamar kami.

Dia marah ..., aku tahu dia sudah pasti marah. Selama ini aku belum pernah mengalami kejadian yang begitu.

Kuhela napasku sejenak. Kemudian kulanjutkan makanku dengan lesu.

Sejak dulu, Rama paling anti memperlihatkan amarahnya kepadaku. Sekali pun suasana hatinya sedang buruk, dia bukan orang yang suka melampiaskannya kepada orang lain. Terlebih kepadaku, dia hampir tidak pernah sekali pun. Apalagi membentak, memukul, atau semacamnya.

Sebagai seorang istri yang sudah menjalani kehidupan pernikahan dengannya selama kurang lebih hampir tiga tahun—ditambah masa pacaran lima tahun—aku sangat bahagia.

Tentu saja.

Dia memang sosok suami yang berkepribadian lembut, penyayang, dan pengertian.

Sempurna. Satu kata yang tepat untuknya.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang