18. When I Fell For You (R)

4.8K 292 84
                                    

Satu-satunya yang kulakukan ketika menyadari bahwa aku bangun di tengah-tengah ruang pasien adalah aku ingin bertanya kepada siapapun yang ada, di mana Rama sekarang. Namun kesendirianku membuatku tak bisa berbuat apa-apa.

Keheningan. Itulah yang kurasakan selain sengatan aroma khas rumah sakit.

Satu demi satu kilas balik mulai bermunculan di kepalaku, perihal awal mulanya yang membawaku hingga aku bisa sampai di tepi jalan yang riuh akan  kendaraan dan orang-orang hingga aku berakhir di sini. Kubangunkan tubuhku hingga duduk dengan kaki yang masih berselojor sembari memijat kepalaku.

"Ah, aku ingat," gumamku.

Tadi itu ...

oOo

Aku baru saja meninggalkan rumah Ibu setelah berpamitan.

"Hati-hati, Nak." Ibu berpesan padaku sebelum aku meninggalkan pelataran rumahnya, menghampiri gerbang yang berdiri jauh beberapa belas meter di depanku.

Pak Takim, yang bertugas menjaga gerbang, keluar dari pos penjagaan dan membuka gerbang. "Sudah mau pulang, Mbak?" sapanya.

"Iya, Pak," kataku sambil memerhatikan pergerakan tubuhnya yang mendorong salah satu sisi gerbang ke samping dan membukakan jalan untukku.

"Nggak nyetir mobil sendiri? Bapak lihat tadi juga dianterin taksi, memang mobil yang biasa ke mana?"

"Ada di rumah, Pak. Cuma memang saya sengaja tidak pakai mobil sendiri. Lumayan ngurangin kemacetan, soalnya jalanan kehilangan mobil saya," guyonku yang mendapati tawa renyah  dari si Bapak.

"Mbak ini, ya kalau cuma Mbak saja yang mobilnya angkat kaki dari jalanan, sih, jalanan masih tetap macet. Kecuali kalau hampir setengah pengguna pengguna transportasi juga melakukan seperti apa yang Mbak lakukan, baru bisa."

Aku hanya tertawa kecil sebelum berpamitan.

Aku memilih menunggu taksi pesananku agak sedikit jauh dari gerbang memang. Ibu sempat tidak setuju dan bertanya mengapa aku tidak di rumah saja sembari menunggu, dan jika sopir taksi itu sudah berada di depan baru aku keluar. Tetapi, karena kurasa taksi yang kupesan hampir lima belas menit yang lalu akan segera datang, maka aku hanya menjawab sesuai dengan apa yang telah aku perkirakan.

Suara klakson mobil yang berasal dari arah belakang yang terasa semakin mendekat membuat lamunanku buyar. Di situ aku mulai terheran-heran dalam hati ketika mengetahui siapa pemilik mobil tersebut.

Rama.

"Masuk!" Suaranya sarat akan perintah saat mobilnya berhenti tepat di sampingku dan menurunkan kaca. Namun aku hanya berhenti untuk melihatnya sekilas sebelum mengambil langkah lebar-lebar, mengabaikan kata-katanya. Seharusnya dia tidak di sini. Dan seharusnya lagi, dia sudah berada di setengah perjalanannya menuju ke kantor.

Tapi kenapa dia masih berada di sekitar sini?

TIIINNNN ...!!!

Suara berisik klakson kembali dibunyikan.

Aku berjengit kaget. Aku bahkan hampir saja memelecokkan pergelangan kaki kananku jika saja aku tak kembali menguasai keseimbangan dengan cepat. Ternyata dia masih mengikutiku dari dalam mobilnya.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang