21. There's Nothing to Talking about

2.9K 208 30
                                    

Rama memaksakan diri berangkat ke kantor di tengah guyuran hujan lebat sejak subuh tadi. Dia betul-betul tidak ingin bertemu muka denganku semenjak kejadian tiga hari yang lalu. Dan sudah tiga hari juga aku seperti kehilangan arah dan tertekan.

Telunjukku bergerak pelan menyusuri salah satu celah teralis tanpa arti.

Sekarang sudah sejam berlalu semenjak aku berdiri di balik jendela: menyaksikan kepergiannya. Namun, selama itu juga aku tak bergeming dari kursi yang kududuki. Mata ini masih tak henti-hentinya menatap ke tempat di mana pijakan terakhir kaki Rama berada dengan pikiran menerawang, seakan-akan jiwaku memang sudah melompat dari raganya dan memulai aksi nelangsa berkepanjangan.

"Kamu bisa sakit," Ibu datang dari belakang. Tangannya menyentuh dua sisi pundakku dan mengelus perlahan hingga sedikit demi sedikit membuyarkan lamunanku. Disampirkannya sebuah selimut menutupi bahuku hingga menjuntai di lantai.

Aku menunduk, memperhatikan apa yang sudah diberikannya untukku. Sesaat aku mendongak ke pemilik wajah keibuan itu, lalu kembali lagi ke selimut pemberiannya. Hanya selapis kain tebal yang polos dan mampu menghalau tebasan angin dingin yang sejak tadi menghantam sebagian tubuhku melalui celah-celah kaca yang terbuka.

"Terima kasih, Bu."

Tatapanku kembali terpaku jauh ke depan. Hujan masih enggan berhenti, entah sampai kapan.

"Jangan sampai menyakiti diri sendiri. Tidak baik itu, Nak."

Aku hanya diam.

Hembusan angin kembali datang menerpa wajahku yang dingin, menerbangkan anakan rambut di sekitar dahiku. Aku bernapas tanpa bisa menghilangkan rasa tercekat di antara tenggorokan. Tak ada yang bisa dipikirkan kecuali masalah yang sedang dihadapi kali ini.

Ibu bergerak menutup kaca jendela yang sengaja kubuka lebar, lalu berbalik kepadaku.

"Sebaiknya kamu temani Ibu sarapan di dapur, Ibu sudah buatkan bubur kacang hijau. Cocok sekali untuk disantap saat cuaca dingin-dingin begini," katanya dan mengulurkan tangannya untuk menarikku berdiri. Ia membantuku memperbaiki tata letak selimut tadi agar nyaman digunakan ketika aku berjalan.

Tanpa kata, aku ikut berdiri dan menurut saja ketika digiringnya menuju ke arah dapur. Jujur aku begitu terharu dengan perlakuan Ibu yang terlihat begitu menyayangiku.

Ibu mendudukkan aku di salah satu kursi. Ia mengganti selimut tebal yang tadi kupakai dengan sweter coklat yang diambil dari kamar dan setelah itu kembali bergerak ke arah kitchen seat. Tangannya yang lihai memindahkan bubur, sesendok demi sesendok, dari panci di atas kompor ke pada dua mangkuk lalu satunya diberikan kepadaku.

"Di makan," katanya, begitu juga sudah duduk menempati kursi di seberang yang langsung berhadapan denganku.

"Enak?" Ia bertanya ketika memergokiku yang hanya sekali menelan.

"Iya, Bu."

Aku mengangguk dan menjawab dengan perasaan tak enak. Takut Ibu berpikir aku tidak menghormati makanan pemberitaannya.

"Kalau begitu dihabiskan, jangan pikirkan yang lain. Saat ini lambung lah yang penting, jangan sampai kamu kena maag," katanya. Diangkatnya sesendok penuh bubur agak tinggi dan kembali memakannya. Tatapannya tak lepas padaku, seolah mendorongku melakukan satu hal yang sama.

"Dulu kamu yang bilang sakit itu tidak enak."

Rikuh, aku pun mengangguk pelan dan mulai menghabiskan sarapanku sembari terus menunduk. Aku tidak biasa sarapan tanpa Rama sampai berhari-hari seperti ini. Dulu dia selalu memaksimalkan waktu kebersamaan kami selama di rumah. Apabila sudah berbicara, dia menyelipkan humor dari yang lucu sampai tidak lucu sama sekali di setiap percakapan.

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang