19. He Knows

6.2K 352 105
                                    

Rama memilih keluar semenjak pembicaraan kami berakhir. Aku hanya diam kala menyaksikan sosoknya perlahan menghilang di balik pintu. Tanpa sadar aku membuka mulut untuk mendapatkan napasku kembali. Pandanganku menanar, lurus dan melanglang jauh meratapi hubungan kami berdua yang entah kenapa jadi seperti ini. Tanpa tahu penyebab pastinya, namun tetap harus menghadapi hujaman tatapan kemarahannya yang sekarang berakhir lebih dari buruk karenaku sendiri.

Ada begitu banyak pertanyaan yang terasa membekukan otak, bahkan ketika hanya dengan memikirkannya saja. Semua terlampau acak hingga aku pun sulit untuk mengeluarkan semuanya melalui mulutku. Aku tidak mengerti. Hanya itu.

Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan kami dalam rentang waktu dua hari ini.

Dua hari yang terasa mengubah hubungan kami dengan begitu besar.

Mana pernah sebelumnya Rama bersikap meledak-meledak seperti kejadian di dalam mobil itu. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang tenang dan penuh kasih-sayang. Namun kini pengetahuanku selama bertahun-tahun itu seakan-akan terpatahkan hanya karena dua hari terakhir ini.

Aku mendesah frustasi karena datangnya sebuah pemikiran bahwa mungkin saja, sosok yang bersamaku sekarang bukanlah Rama. Lihat saja sikapnya.

"Apa ini, Nilam?" Desisan itu keluar bersamaan dengan datangnya denyutan sakit di kepalaku yang akhirnya membuatku mengaduh.

Seharusnya aku tidak menyimpulkan hal secara konyol, jadi tidak perlu ada adegan tanpa sengaja memukul kepala sendiri.

Aku meringis ketika kepalaku semakin berdenyut sakit. Itu membuatku menyerah untuk kemudian memilih berbaring dan enggan berpikir lebih jauh lagi.

Bunyi hendel pintu yang terdengar dibuka dari luar membuyarkan lamunanku, tatapanku kembali mengarah ke sumber suara—meskipun itu harus dengan mengernyit karena aku tidak bisa mengabaikan denyutan yang masih bersarang. Awalnya kupikir itu Rama, tapi ketika mendapati yang berada di antara bingkai pintu itu adalah dua orang yang merupakan sahabatku, tanpa sadar membuat sesuatu di dalam dadaku seketika mencelos, membawa jatuh harapan yang sempat tersemat di beberapa detik lalu.

Dengan senyum kaku aku menyapa keduanya ketika telah berada di dekatku.

Berbeda dengan Opi yang sudah mengambil tempat di kursi samping ranjang, Laura justru masih berdiri dengan memberikan jarak. Tangannya disimpulkan di dada dan kemudian dengan pandangan menilainya dia berkata padaku, "Barangnya masih bagus, Say. Cuma di bagian kening aja yang agak ..., — astaga, gimana bisa badan kurus-mungil begini hampir ketabrak mobir tronton! Lo bikin kita panik tau! Nah, nah! Kepala lo kenapa?" Tunjuknya berkali-kali dengan tatapan mata waspada terhadap sebelah tanganku yang tanpa henti memijat bagian kepalaku.

Suasana ruangan ini menjadi berubah karenanya. Yang tadinya tempat ini tenang langsung berubah gaduh ketika Laura mulai sesi bicara panjang tanpa jedanya. Laura tipikal orang yang setiap saatnya hampir tak pernah membiarkan dirinya diam tanpa melakukan atau berkata sesuatu. Di antara kami bertiga dialah yang paling sering bicara dan terkesan heboh sendiri.

"Opi, tekan tombolnya. Dokter harus tau, jangan-jangan Nilam gegar otak!!" Ucapan yang meluncur mulus ini membuatku mengernyit bingung. Dalam diam aku bertanya-tanya, bagaimanapun aku merasa bahwa aku tidak mengalami benturan keras macam apapun pada sisi tubuhku terutama di bagian kepala karena diakibatkan oleh mobil besar itu.

"Selamat sore," sapaan itu sukses membuat Laura terdiam dan kami menoleh ke asal suara. Dia ..., ini ....

"Rayno!" Pekikan yang berasal dari suara Laura membuatku mengerjap terkejut. Jika laki-laki ini ada di sini dengan jas putihnya itu ....

Between The Game(s)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang