25. Kepergian, Kehilangan dan Ratapan

172 10 2
                                    

Tiga minggu setelah keberangkatanku, untuk pertama kali merantau ke Yogya—untuk menimba ilmu disana. Aku masih kagok dengan cara hidupku seperti biasanya, mulai bagaimana cara memasak, mencuci dan mempersiapkan semuanya seorang diri. Aku masih bersyukur Ibuku selalui mengubungiku, dia selalu menjadi penasehatku dalam mempersiapkan segalanya di lingkungan baruku. 

Disisi lain, Rio juga tiada henti meneleponku setiap malam. Kami bisa berjam-jam bercerita via panggilan telephone ataupun dengan videocall. Meskipun hanya sekedar salam sapa, kehadiran suara atau wajahnya saja dari handphone ku sudah memberikan semangat baru bagi langkahku setiap hari

Di minggu keempat, Aku mendapatkan kabar dari Rio langsung, bahwa dirinya telah tinggal dan kini menetap di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia pun memberitahukan kepadaku bahwa dia berniat masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang. 

Entah apakah itu hanya candaan atau kah memang niat dia yang sebenarnya, yang pasti ada kalimat yang masih terekam di otak ku 

"Gue mau deket ke Lo disana, Gue kangen Lo Mic," ucap Rio dengan nada beratnya. 

Sungguh, kalimat itulah yang membuat diriku masih sangat angkuh menerima kenyataan hidup tinggal di daerah dimana Aku sekarang menimba ilmu dan akan mendapatkan gelar dokter hewan. 

Tetapi silih berganti, waktu demi waktu, rasa angkuh berganti rasa nyaman, rasa nyaman pun akhirnya menjadi rasa pahit dan benci akibat rasa sayang dan cinta itu sendiri, sehingga akhirnya, Aku pun melupakan segalanya termasuk Rio.

Enam bulan setelah Aku beradaptasi di kampus dan lingkungan baruku, Aku mulai sadar bahwa sudah hampir 4 bulan dari panggilan Rio terakhir ke handphone ku, kami sudah tidak ada berkomunikasi lagi. 

Terakhir, dia hanya meminta pesan kepadaku bahwa jangan menghapus nomor handphone dirinya dan jangan mengganti nomor handphone ku, karena suatu saat ketika dia menghubungiku atau Aku menghubunginya, kami masih bisa tersambung. 

Tetapi lagi-lagi semua itu salah, nyatanya, nomor handphone Rio kini tidak bisa dihubungi, Aku terus mengubunginya dan terus tiada henti berusaha menghubunginya termasuk meminta orang lain menghubungi Rio. 

Kenyataan pahit Aku terima, ketika semua orang yang Aku pinta bantuan menghubungi ku kembali, memberitahukan bahwa Rio kini tidak bisa dihubungi kembali. Aku sangat terpukul, dan tertekan menerima kenyataan itu.

Bagaimana bisa dia menghilang tiba-tiba tanpa ada informasi yang jelas?

Bagaimana bisa dia yang telah berjanji akan selalu disisiku pergi tanpa sepatah kata apapun?

Bagaimana bisa Aku menerimanya jika semua yang Aku berikan kepadanya tidak membengkas sama sekali hingga dia pergi meninggalkanku? Bagaimana bisa??

Bayang-bayang pertanyaan akan dirinya yang menghilang tanpa jejak telah menjatuhkan diriku dalam sebuah depresi fikiran dan batin yang sangat berat. Sehingga masuk pada semester kedua di UGM, tubuh ku drop—sakit, dan tidak mampu bertahan dalam menjalankan tugas pendidikan. 

Aku terpaksa harus cuti di semester itu untuk mengembalikan tubuh, hati dan fikiranku yang sakit. Harapan akan kesembuhan diriku untuk lebih cepat ternyata jauh dari bayang-bayang. 

Ayahku pergi meninggalkan kami—Aku dan Ibu, untuk selama-lamanya. Serangan jantung menjadi pintu gerbang kematiannya. Aku sangat-sangat terpukul akan kepergian Ayahku yang tiba-tiba. 

Hanya senyuman dan candaan yang diberikan kepadaku sebelum kepergiannya. Tidak ada pesan dan tidak ada titipan apa pun. Aku kemudian mengajukan cuti tambahan untuk 6 bulan kedepan ke pihak kampus, sehingga total, satu tahun Aku menjalankan pemulihan fisik dan jiwaku. 

Satu-satunya yang kini Aku harapkan adalah Ibuku. Dia adalah sinar harapan akan tatapan masa depanku sendiri. Tiada hari tanpa lelah Ibuku membantu dan menemaniku untuk memulihkan diriku yang masih lemah, serta menemaniku untuk memulihkan jiwaku yang masih sangat rapuh. 

Kini hanya kepada Ibuku lah Aku bersandar dan mendapatkan tujuan hidup yang baru—Aku ada di dunia ini karena ada Ibuku.

Setelah Aku sembuh, dan mendapatkan izin kembali dari pihak kampus untuk melanjut study. Aku segera mengikuti perkulihan dengan penuh semangat dengan lembaran hidup yang baru. Hal pertama yang Aku rasakan adalah Aku tertinggal dengan teman-teman seangkatanku. 

Mereka semua telah naik ke tingkat dua di kampus. Sedangkan Aku masih harus berkutat di tingkat pertama dengan mahasiswa baru di tahun ini. Hal kedua adalah Aku tertinggal dalam materi pembelajaran dan pergaulan di lingkungan kampus. Aku sangat malu ketika beberapa ujian tes hanya mendapatkan nilai C, bahkan dosenku dengan baik hatinya menaikan nilaiku dari E menjadi D dengan alasan Aku akan menjadi mahasiswa abadi dikampus jika Aku mengulang mata kuliahnya. 

Di saat awal-awal kembali di kampus itulah jiwaku mulai tertekan kembali. Namun, semua itu segera berubah saat Aku berkenalan dengan Rachel Yamashita Putri. Seorang mahasiswi cerdas yang juga teman seangkatanku ketika masuk kampus. 

Dia memberikan diriku jalan baru dalam berkehidupan dan menatap masa depan. Dia membimbingku keluar dari ketertinggalan itu semua. Dengan kesabaran dan rasa sayangnya kepadaku, Aku pun jatuh hati kepadanya.

Rachel Yamashita Putri, kini kau datang dan menjadi orang kedua yang akan mengisi ruang hatiku yang telah lama kosong. Aku sangat berharap dengan datangnya dirimu akan menghapus semua rasa pahit dan benciku, serta menggantinya dengan rasa manis dan cinta yang kita akan ciptakan bersama.

Rachel Yamashita Putri  adalah seorang wanita yang baik hati, yang selalu membantu diriku untuk tetap berdiri tegar dengan kedua kakiku.

Disaat tingkat ke-3 Aku menjalani pendidikan di kampus, dan dia ditingkat ke-4, Aku mendapatkan kabar duka kembali, bahwa Ibuku telah pergi untuk menyusul Ayahku. 

Aku diberitahu oleh keluarga Ibu, bahwa Ibuku meninggal karena serangan jantung, sama persis dengan apa yang terjadi pada Ayahku. Aku kembali sangat terpukul dengan apa yang yang Aku alami saat ini. 

Di saat semua orang masih bercanda dengan satu atau kedua orang tuanya, Aku hanya termenung dengan memandang kedua batu nisan mereka berdua—Ibu dan Ayahku, mereka dikubur berdampingan. 

Kini semua hanya kenangan yang akan teringat, ada beberapa pesan yang selalu Ibuku sampaikan kepadaku. Berbeda dengan Ayahku yang hanya tersenyum, bercanda dan memendam semuanya dalam hati, Ibuku lebih terbuka dan sering memberikan pesan kepadaku.

"Hiduplah dengan kebenaran akan jati dirimu, dan temukan cinta dan kebahagianmu untuk menerangi jiwamu, maka kau akan bisa berdiri dan berlari menatap masa depanmu sendiri"—Ibu.

Manisnya pesan Ibuku itu, tetapi pahit untuk saat ini Aku rasa. Kemudian tanpa sadar mulutku berbicara dengan sendiri nya.

"Ibu dan Ayah, percaya lah Aku akan bahagia dan akan menemukan cintaku , Aku akan mengikuti semua yang kalian didik kepada diriku, menjadi orang yang baik dan jujur  pada semua orang dan dunia ini, Aku berjanji Aku akan bahagia dengan jalan hidupku sendiri, Aku berjanji, " ucapku sambil mengusap kedua batu nisan mereka.

MICHEL IBRAHIM ZEIN (18+| BoyXBoy )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang