Beberapa hari setelah kejadian di Eldest Pine Residence, kini Maureen berada di sebuah bangunan. Sudah lama tak digunakan, namun cukup besar untuk dijadikan markas bagi pengikut-pengikut dirinya. Atau mungkin lebih tepat dibilang pengikut "May G"Ia kini sedang duduk termenung, sambil sesekali pandangan nya tertuju keluar balkon tempat ia duduk sekarang. Dan dimeja dekat kasur milik nya itu terpampang sebuah foto. Ya, foto dari satu satu nya orang yang ia kasihi. Derrick Harper. Ayah nya yang tercinta yang kini sudah tak lagi merasakan hancurnya dunia ini.
Ia pun segera menghampiri kasurnya itu dan duduk termenung mengenang saat saat terakhir ayah nya di Eldest Pine Hospital. Hari itu telah mengubah segalanya. Hidupnya. Cara berpikirnya. Dan juga kepribadian nya yang kini tak bisa mempercayai siapapun dan mulut nya yang kini sangat manipulatif dan bisa mengendalikan orang banyak.
Ia pun hanya duduk sambil memeluk foto itu di dalam dekapan erat nya. Tak lama, pikiran nya kembali ke hari dimana hari itu adalah 'titik balik' kehidupan nya.
Flashback. Day 2, 01 March 2017
So, this is how it began.
Sudah 2 hari listrik padam. Keadaan di Eldest Pine Hospital, New York ricuh. Beberapa pasien yang memerlukan alat bantu medis mulai mengalami kondisi kritis. Bahkan beberapa sudah ada yang meninggal. Tak terkecuali Derrick Harper, seorang senat oposisi pemerintahan yang sekarang. Ia mempunyai penyakit yang mengharuskan ia menjalani cuci darah seminggu sekali. Namun, akibat padam nya listrik selama dua hari ini, kondisi nya mulai memburuk. Para suster dan seorang dokter yang bernama Elaine Altha---dokter residen di RS tersebut---- terus memantau kondisi nya. Harus nya ia menjalani prosedur cuci darah hari ini. Namun, keadaan yang tak memungkinkan ini---Mass Blackout---mereka tak bisa menjalankan prosedur tersebut.
"Jadi, dokter... Apa yang harus kita lakukan sekarang? Sudah 2 hari ini Tuan Harper dalam kondisi koma. Sementara, hari ini harusnya dia menjalani cuci darah..." Tanya seorang suster kepada dokter tersebut. Mereka bingung, harus melakukan apa. Sementara pasien pasien lain nya mulai satu persatu mulai kritis---bahkan beberapa ada yang meninggal.
Menanggapi pertanyaan Sang Suster yang terus menerus berbicara sejak awal, Elaine hanya mengernyitkan dahinya. Sebal. Pusing. Dan stress secara bersamaan. Pasalnya, ini adalah tahun pertamanya bekerja. Ia bukan dokter profesional yang telah tuntas menangani segala kasus dengan cekatan.Gadis itu menatap pasien yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Menatap kasihan, lebih tepatnya tatapan penuh harap--siapa tahu ada keajaiban yang datang tiba-tiba dan membuat laki-laki itu sembuh total.
Tapi...
Hembusan napas kasar terdengar keras seiring dengan lengan kanannya yang mengusap wajahnya sendiri dengan gusar.
"Aish... Huh!"
Ia tidak bisa berputus asa saat ini, nyawa pasien adalah prioritas utama. Tapi dengan keadaan listrik yang tiba-tiba padam seperti ini ia bisa apa?
Sekali lagi ia tegaskan, ini adalah tahun pertamanya.
Gadis itu berbalik menghadap suster lalu mengambil cacatan perkembangan pasien yang yang ada dalam dekapan suster itu. Elaine membacanya serius, lalu mendesah dan berkacak pinggang.
"Hubungi Dokter Kean," titah gadis itu pada sang suster, "Kita harus melakukan cuci darah sekarang...."
".... Tanpa listrik. Kita akan memakai aki sebagai gantinya."
Elaine bergumam di akhir--hanya ia yang bisa mendengar suaranya sendiri. Rencananya gila, pikirnya. Tapi mau bagaimana lagi? Keadaan pasien di depannya ini sudah masuk dalam kategori darurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Powerless/A World Without Light
Science FictionWARNING:SOME CONTENT OF THIS STORY CONTAIN MATURE AND SEXUALLY EXPLICIT. 18++ ONLY. HARSH LANGUAGE INSIDE... I'll explain. We lived in an electric world. We relied on it for everything. And then the power went out. Everything stopped working. We wer...