|TBL:Chapter 5|

8.8K 1.4K 51
                                    


Pemandangan pertama yang dilihat Keola begitu keluar kamarnya adalah ekspresi kesal Arvin yang ditujukan langsung pada Keola. Pria itu sedang menyuapi Vania nasi goreng mentega yang dibuat ala kadarnya, dengan tambahan telur mata sapi setengah matang dan beberapa potong sosis panggang.

Keola berdiri canggung di depan pintu kamarnya yang belum tertutup. Di dalam kepalanya hanya terlintas satu kata saja sekarang-maaf.

"Kamu saya maafkan." Arvin, lagi-lagi mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan isi kepala Keola.

"Pak-eh...Vin. Semalem saya nggak bisa tidur, jadi-"

Arvin mendesah memotong Keola. "Hari ini saya libur. Jadi kamu bisa fokus kerjain pekerjaan kamu. Saya yang bakal nemenin Vania seharian." Arvin menyuapkan suapan nasi goreng terakhir ke Vania. "Kalau udah selesai, kamu boleh istirahat selama saya jalan-jalan sama Vania," lanjutnya, seraya meletakkan piring bekas sarapan Vania di atas meja sofa.

"Jalan-jalan? Mau kemana?" Vania terdengar antusias setelah mendengar Arvin menyebutkan ingin mengajak Vania jakan-jalan. "Kak Keola juga ikut, kan?"

Arvin menoleh sekilas ke arah Keola yang sedang mengambil piring bekas sarapa Vania. "Kak Keola lagi kurang istirahat, Vania. Biarin Kak Keola istirahat di rumah, ya?"

Batin Keola berseru. Pria itu memang tidak berniat mengajak dirinya ikut bersama mereka. Bukan karena kondisi Keola yang memang butuh istirahat sedikit lebih banyak dari biasanya.

Tentu saja, kan? Selain karena semalam adalah pertama kalinya ia tidur di apartemen Arvin dan belum terbiasa dengan suasananya, pria itu sama sekali tidak membantu Keola memindahkan barang-barangnya. Arvin hanya duduk manis menunggu di dalam mobil. Bahkan Vania lebih baik dari Papa nya itu. Gadis kecil itu berinisiatif turun dari mobil dan membantu Keola membawa barang-barangnya yang kecil dan ringan. Meskipun hanya bisa membantu sebatas kemampuan anak kecil seusia Vania, setidaknya tindakan Vania membantu meringankan tugas Keola.

"Kalau Kak Keola nggak ikut, Vania juga nggak mau jalan-jalan. Kasihan Kak Keola sendirian di rumah." Vania memeluk bonekanya erat-erat, merebut remote tv dari tangan Arvin, lalu menghidupkan TV dan mulai menonton serial kartun-tidak mengacuhkan Arvin.

Arvin menghela napas. Mungkin ini perasaan Ayahnya dulu saat menghadapi dirinya yang masih kecil.

Beranjak dari sofa, Arvin menghampiri Keola yang sedang merapikan tempat bumbu-bumbu bekas Arvin memasak nasi goreng. Keola yang menyadari kedatangan Arvin, berlaku seolah tidak mengetahui maksud Arvin yang hendak mengajaknya ikut jalan-jalan bersama Vania.

"La..." Arvin berdehem, "hmm...jam 12 nanti kamu ikut saya sama Vania, ya."

Keola menghentikan gerakan mengelapnya, kemudian memandang Arvin. "Vin, kamu nggak usah memaksakan diri sebegitunya kalau memang nggak mau ajak saya," jawab Keola. "Saya nggak mau kamu ngerasa terpaksa gitu. Saya nggak keberatan, kok...jaga rumah seharian."

Arvin mengeluarkan suara tawa tertahan.

Keola menoleh kembali ke arah Arvin. "Kenapa?"

"Nggak...saya kira cuma Vania yang kayak gitu, ternyata kamu juga, toh?"

Keola mencebik. "Kalau kamu udah nggak ada urusan lain, saya bakal lanjutin pekerjaan saya yang lain." Keola menumpukkan piring-piring kotor, beserta teflon dan alat memasak lainnya di bak cuci piring. Tepat di detik pertama setelah ia menghidupkan keran, Keola berteriak. Tiba-tiba keran air terpental ke atas, mengeluarkan air dengan curah dan kekuatan tinggi sehingga membanjiri dapur. Keola berusaha keras menahan ledakan air yang keluar dengan kedua tangannya. "Vin! Ini gimana?!" tanyanya, berteriak pada Arvin.

Arvin segera membuka pintu lemari bawah bak cuci piring, kemudian mematikan keran utama yang menghubungkan aliran air ke kamar apartemennya. Tak berselang lama, kehebohan pun berhenti. Arvin bangkit berdiri berdampingan dengan Keola. Bajunya basah, tapi tidak sebanyak Keola. Gadis itu terlihat seperti seseorang yang baru saja tecebur ke sungai. Dari kepala sampai kakinya semua basah kuyup.

"Kamu buka kerannya gimana, sih?" tanya Arvin, sedikit kesal.

"Darikemarin memang udah bermasalah kerannya!" Keola terdengar lebih kesal.

"Terus kenapa nggak langsung bilang sama saya?"

Keola menggigit bibir dalamnya. "Lupa," bisiknya.

Di saat Arvin menyisiri rambutnya yang basah ke belakang kepala, pandangan Arvin jatuh ke penampilan Keola dalam balutan kaos putihnya. Selain terlihat menempel erat ke kulit karena basah, kaosnya jadi tembus pandang. Arvin terpaku beberapa saat, ketika melihat siluet warna kehitaman pakaian dalam Keola.

"Biar nanti saya yang benerin kerannya. Kamu siap-siap aja. Kalau terlambat satu detik aja, kamu saya tinggal." Arvin memalingkan wajah, berjalan menuju sudut lain kitchen island, lalu mengambil kotak peralatan dari dalam salah satu lemari bawah.

Keola yang sudah kehilangan niat melanjutkan pekerjaannya, langsung berjalan keluar meninggalkan Arvin menuju kamarnya.

"Duh...padahal ini kaos baru dipakai sekali," gerutu Keola, seraya menutup pintu kamarnya.

Keola mengambil handuk yang ia jemur di teras kecil kamarnya, lalu mulai mengeringkan rambutnya. Sekarang lantai kamarnya juga jadi ikut basah terkena tetesan air yang merembes dari bajunya. Keola mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya berat. Saat ia menatap dirinya di cermin, Keola melongo.

Memandangi pakaian dalamnya yang tercetak jelas dari dalam kaosnya yang basah, semburat merah pun muncul di kedua pipi Keola.

Ya ampun...jangan-jangan, Arvin lihat?


Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang