|TBL:Chapter 9|

8.3K 1.2K 52
                                    

 Tamed by Love akan update setiap hari Kamis ya jadinya!

Happy reading!


Setelah menghabiskan waktu di dapur cukup lama untuk memasak makan malam, Keola mulai bisa mengendalikan degup jantungnya yang tadi sempat tidak beraturan selama perjalanan pulang sehabis berbelanja bersama Arvin. Gadis itu baru saja selesai memasak tumis kangkung dan bola-bola ayam goreng tepung yang dicampur irisan wortel kecil-kecil.

Arvin sudah lebih dulu mengambil piring-piring berisi kedua menu itu, saat Keola hendak membawanya ke meja makan. Pria itu sempat menorehkan senyumnya kepada Keola, dan lagi-lagi jantung Keola bertingkah seenaknya—padahal itu hanya senyuman kecil.

Tidak ada suara lain selain dentingan sendok garpu dan piring, selama Arvin dan Keola menikmati makan malam mereka. Arvin sibuk mengamati layar hp nya—mungkin membaca berita, sementara Keola berusaha hanya fokus kepada piringnya sendiri—berusaha sebisa mungkin agar tidak mencuri-curi pandang ke arah pria di hadapannya itu.

Sayangnya, usaha nya itu sia-sia di menit ke tiga. Keola mencuri pandang ke arah Arvin, dan sialnya di saat yang sama, laki-laki itu juga melihat ke arahnya.

Cepat-cepat Keola menurunkan pandangannya, mempercepat suapan makanan ke mulutnya, dan segera berdiri sambil membawa piringnya yang sudah kosong meskipun mulutnya belum selesai mengunyah makanan. Gadis itu baru bisa bernapas lega saat ia tiba di depan bak cuci piring, dan menyalakan keran air.

Tapi ternyata, kelegaan itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja...

"La, biar saya bantu."

"Astaghfirullah!" Keola ternganga, mendapati Arvin sudah berdiri di belakangnya sambil membawa piring bekas makannya sendiri. "G-gak usah, Vin! Ini kan tugas saya."

"Tapi saya perhatiin kamu daritadi kayak gelisah gitu..." saut Arvin, mengangkat sebelah alisnya yang tebal, "...kamu sakit?" tanyanya, seraya menempelkan telapak tangannya ke dahi Keola.

Refleks, Keola memundurkan tubuhnya ke belakang. "Saya baik-baik aja, kok..."

Arvin mengamati wajah Keola, seolah mencari pembenaran atas jawaban gadis itu untuk ia percayai. "Kalau gitu, kamu lagi banyak pikiran?" tanyanya lagi, mengambil sponge cuci piring dari tangan Keola, tanpa memperdulikan kalimat protes yang meluncur dari bibir gadis itu. "Kamu bisa cerita ke saya, kok. Saya pendengar yang baik. Jangan sungkan karena kamu bekerja sama saya, justru kalau kerja kamu jadi terganggu, saya juga yang bingung," cerocos Arvin, panjang lebar. "Eh, tapi ini bukan karena saya mikirin hasil kerjaan kamu yang bakalan gak beres nantinya, ya. Saya memang benar-benar menawarkan diri karena saya peduli."

Mendengar itu, Keola hanya termenung, dan obrolan itu berakhir hanya dengan keheningan antara Arvin dan Keola sampai Arvin menyelesaikan kegiatan mencuci piringnya, sementara Keola mengamati dalam keadaan pikirannya melanglang-buana entah kemana. Bahkan, saat Arvin menepuk pundak Keola dan berlalu menuju ruang TV, Keola sama sekali tidak bereaksi apa-apa, selain mengamati punggung pria itu menjauh dan berhenti di sofa.

Entah mendapatkan keberanian darimana, tidak lama setelah Arvin duduk di sofa sambil menonton TV, Keola menyusulnya. Gadis itu segera mengambil tempat kosong di samping pria itu, dan membuka suara setelah beberapa kali menarik napas panjang.

"Vin, sebenarnya saya daritadi kepikiran sesuatu—gak daritadi juga, sih—udah cukup lama."

Arvin menunggu Keola mengatakan lebih jelas apa yang ingin ia ucapkan pada Arvin.

"Saya tahu mungkin kamu bakalan berpikir kalau pertanyaan saya ini lancang, tapi—jujur, ini lumayan menganggu pikiran saya, apalagi dengan situasi kita yang tinggal serumah." Keola menatap Arvin ragu-ragu. "Sebenarnya, kamu masih terikat pernikahan, atau sudah menduda?"

Terheran-heran, Keola terdiam mendapati reaksi Arvin yang terkekeh pelan saat mendengar pertanyaan darinya. "Saya sudah menduga kamu bakalan nanya itu ke saya," kata Arvin. "Salah saya juga, harusnya saya menjelaskan sedikit latar belakang saya—masalahnya, saya tidak begitu suka membicarakan hal-hal pribadi, jadi saya menunda-nunda untuk menjelaskan ke kamu. Saya sudah tidak terikat pernikahan dengan istri saya secara agama, La. Saya sudah menceraikannya sejak lama. Status di ktp saya belum diubah, dan baik saya maupun mantan istri saya juga belum mengurus perceraian kami secara hukum."

Terkutuklah dewi batin Keola yang membimbingnya mengucap hamdalah dalam hati...

"Saya juga tahu sampai sekarang kamu masih belum benar-benar nyaman tinggal bersama saya dan Vania di sini, apalagi dengan kebenaran status saya yang belum kamu ketahui. Maaf, ya, La...tapi saya berharap, setelah kamu tahu kebenarannya, rasa canggung kamu jadi sedikit berkurang saat menghadapi saya."

***

"Jadi karena udah confirmed dia beneran duda, lo gak jadi mundur, La?"

Keola menghela napas, "Ya gitu, deh—ya, kalau dibilang gak ada hubungannya dengan perasaan gue, ya nggak juga...tapi dibilang iya, juga nggak, Dy," katanya, sambil memeluk nampan di dadanya erat-erat.

Dyah menyeruput es coklat pesanannya yang baru saja diantarkan Keola. "Sebenernya lo beneran suka gak sih? Gue jadi bingung liat lo bingung."

"Lo aja bingung apalagi gue. Jujur, gue lega banget denger dia emang udah cerai dengan istrinya—mantan istrinya, maksud gue—tapi gue juga jadi mikir panjang lagi, pantes atau gak, sih, gue biarin rasa suka gue yang ibaratnya masih berbentuk tunas ini, berkembang lebih pesat menjadi bunga? Soalnya, gue juga gak mau kalau bunga itu malah gugur sia-sia."

"Napsu juga lo, mau gayungnya bersambut."

"Namanya juga orang suka, berharapnya disambut lah, Dy. Tapi kalau gak jodoh, yaudah. Apa kata yang Di atas aja, deh!"

"Atas mana? Atas genteng?" Dyah membalas kata-kata Keola dengan nada bicara yang sedikit lebih tinggi. "Udah sana, lanjut kerja. Tuh pelanggan lo antri." Dyah menunjuk antrian pelanggan di depan meja kasir, tempat dimana seharusnya Keola berada, alih-alih berdiri di sampingnya dan mengobrol.

Usai melihat ke arah yang ditunjuk Dyah, Keola bergegas menuju counter dengan wajah panik dan langkah yang terburu-buru. Saking paniknya, gadis itu bahkan nyaris terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Beruntung ada salah seorang pelanggan yang menahan tubuhnya sebelum jatuh dengan wajah menghantam lantai.

"Kamu gak apa-apa?" tanya seorang pemuda si penolong Keola. Tak lama kemudian, Dyah menghampiri Keola dan pemuda itu.

"La, lo gak apa-apa, kan?" tanya Dyah, menarik tangan Keola hingga gadis itu berdiri.

"Gak apa-apa kok, Dy..." jawab Keola, menyengir, kemudian mengalihkan pandangannya ke pemuda yang menolongnya. "Makasih ya, Kak—"

"Loh, Bram?" Dyah ternyata mengenali pemuda itu. "Lo ngapain jauh-jauh ke sini?"

"Eh, Dyah—gue habis ketemuan sama nyokap. Nyokap gue kerja deket sini—temen lo, nih?" tanya pemuda yang bernama Bram itu, tersenyum ke pada Keola.

"Iya, sahabat gue tepatnya. La, ini Bram, temennya Ardhi. Bram, ini Keola."

"Bram." Bram mengulurkan tangannya, disambut dengan jabatan tangan Keola.

"Keola—eh, kalian kalau mau ngobrol, lanjutin dulu. Bos gue udah melototin gue tuh," bisik Keola, menunjuk Panca yang sedang melipat kedua lengannya di depan dada, seraya mengirimkan tatapan tajam ke arah Keola. "Bentar lagi shift gue selesai, Dy. Lo jangan pulang duluan ya!" Kemudian gadis itu segera pergi meninggalkan Dyah dan Bram yang terlihat masih saling berbicara satu sama lain.


Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang