|TBL:Chapter 10|

8.1K 1.2K 57
                                    

Halo! Maaf ya aku terlambat update. Baru nyampe banget dari Semarang nih :(

Happy reading!


"La, Bram kayaknya suka deh sama lo." Usai mengucapkan itu, Dyah langsung ketawa-ketiwi melihat reaksi Keola yang terlihat aneh. "Kontrol muka, dong!" serunya, mengomentari raut wajah sahabatnya itu.

"Lagian lo kalau bercanda suka kelewatan, Dy!" saut Keola, seraya mengelap tumpahan kopi di meja counter. Dia melakukan tugasnya tanpa terburu-buru, karena Dyah sama sekali tidak terlihat keberatan kalau harus menunggu beberapa menit lagi sebelum mereka berdua pulang bersama. Toh, masih belum terlalu malam. Kalau mereka kehabisan angkot, ada akang-akang ojek online yang sedia mengantar.

"Eh, gue gak bercanda! Daritadi itu anak nanyain elo mulu, La," timpal Dyah. "Suer tekewer-kewer deh!" lanjut gadis itu, seraya menunjukkan angka dua tanda sumpah ke arah Keola.

Keola melirik sekilas, kemudian mengembalikan perhatiannya pada lap bekas membersihkan tumpahan kopi, yang baru saja hendak ia lemparkan ke tempat khusus lap kotor yang akan dicuci, yang diletakan di bawah counter. "Dy, udah deh. Lo yang paling tahu kalau gue gak minat buat dicomblangin—kalau lu berniat nyomblangin."

"Gue ngomong gini bukan karena gue niat nyomblangin—ya, ada sih niat nyomblangin, tapi itu cowok emang beneran suka sama lo."

Keola menyengir, "Bram lumayan, sih, tapi—"

"Gak seganteng duda keren itu?" potong Dyah.

"Hush!" Keola memperingatkan, supaya Dyah tidak kelepasan bicara.

"La, mimpi tuh jangan ketinggian, ntar pas jatuh sakit. Jauh-jauh aja, kalau nyasar masih bisa cari jalan baru."

"Gue gak sedang mimpi, apalagi mimpi yang tinggi-tinggi." Keola membuka apronnya, menitipkan apron itu pada Greta yang hendak menuju ruangan khusus karyawan. Setelah mengambil tas yang sudah ia letakkan di bawah counter, ia keluar menuju sisi tanpa pintu yang biasa digunakan untuk mengantar makanan dan minuman yang harus ditunggu beberapa waktu. Di saat yang hampir bersamaan ketika ia melihat ke arah Dyah, tatapannya terpaku pada sosok Arvin yang berdiri tepat di belakang Dyah, dan sedang melambaikan tangan ke arah Keola. Kedua mata gadis itu membulat sempurna, lalu menyerukan, "Arvin?" dan membuat Dyah yang terkejut, segera menoleh ke belakang dan ikut membulatkan kedua matanya.

"Halo, temannya Keola, ya?" Arvin tersenyum ramah pada Dyah, yang segera terpana melihat lekukan manis di bibir pria itu. " Saya Arvin," lanjut Arvin, memperkenalkan dirinya.

"Halo, saya Dyah..." Dyah menyambut jabat tangan Arvin, kemudian memberikan isyarat mata pada Keola, ganteng banget!!

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Arvin, ketika Keola sudah bergabung bersama dirinya dan Dyah. "Saya sudah selesai nih. Pulang bareng saya aja ya? Dyah rumahnya dimana? Biar saya antar juga."

"Oh, gak usah, Om—eh, Kak—aduh, maaf...anu, Keola aja yang bareng, nanti biar pacar saya aja yang jemput saya." Akhirnya Dyah bisa menyelesaikan kalimatnya dengan baik meskipun di awal sempat tergagap karena gugup.

"Oh, gitu? Beneran gak apa-apa? Saya sama sekali gak keberatan kok buat antar kamu."

Dyah mengangguk cepat, "Iya, beneran, kok. Keola sama Kak Arvin pulang aja duluan," timpal Dyah, sambil mendorong Keola ke arah Arvin. "Hati-hati ya!" katanya, lagi. ia sempat mencubit pinggang Keola, sampai sahabatnya itu mengaduh kencang, karena menertawakan reaksi Dyah saat bertemu Arvin.

Arvin sudah lebih dulu berjalan menuju pintu cafe, saat Keola yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan Dyah, kembali mendekati sahabatnya itu lalu membisikkan, "Jangan lupa sholat taubat, ya. Barusan lo nyentuh yang bukan muhrim," katanya, mengingatkan Dyah yang cukup ekstrim untuk hukum antar lawan jenis tanpa ikatan pernikahan.

"Allahuakbar! Astaghfirullah! Sialan lo, La! Gara-gara lo nih!" teriak Dyah, hendak menjewer telinga Keola, tapi gadis itu ternyata lebih cepat darinya dan berhasil kabur sebelum Dyah menangkap Keola.

***

"Itu tadi temen dekat kamu?" tanya Arvin. Dia dan Keola tengah dalam perjalanan pulang menuju apartemen, dan sedang terjebak macet. Pria itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya.

Keola melirik sekilas ke arah Arvin, mengamati gerakan meremas setir mobil yang dilakukan pria itu. Keola pikir, pria itu mulai kehilangan kesabaran menghadapi kemacetan yang membuat mobilnya hanya bisa bergerak beberapa meter saja selama hampir satu setengah jam. "Iya, Vin. Udah kayak saudara sendiri."

"Terus..." Arvin berdeham, "...Bram itu? siapa? Teman kuliah?"

Keola melongo, "sudah berapa lama kamu di sana tadi?" tanyanya.

"Hmmm, cukup lama untuk mendengar semua obrolan tentang Bram yang kayaknya tertarik sama kamu." Sempat terdiam canggung beberapa lama, Arvin memaksakan diri untuk tertawa kemudian, dan ia sadar suara tawanya terdengar aneh.

"Dyah memang biasa gitu, Vin," kekeh Keola. "Dia paling hobi menjadikan dirinya sebagai mak comblang untuk saya. Ini bukan pertama kalinya dia begitu, jadi saya udah gak heran lagi."

"Terus selama ini kamu mau dijodoh-jodohin gitu? Termasuk sama yang namanya Bram—"

Keola tampak berpikir serius, "Sebenarnya, saya lumayan terganggu—tapi, saya tahu dia kayak gitu karena mengkhawatirkan saya, artinya, dia sayang sama saya." Keola mengukir senyum di wajahnya yang manis, meskipun lumayan mengkilap karena minyak di wajahnya. "Lagipula, kita gak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin, melalui Dyah, saya bakalan ketemu dengan jodoh saya."

Arvin manggut-manggut. "Jadi, kamu belum punya pacar? Saya kira sudah."

"Mau ngatain saya jomblo?" Keola tertawa sengit. "Gini, ya... saya jomblo bukan berarti gak laku, tapi biar kamu jadiin saya pacar," lanjutnya, melontarkan candaan yang kelewat berani untuk tolak ukur Keola. Tapi atmosfir kedekatan antara dirinya dan Arvin sekarang di dalam mobil yang sedang terjebak macet ini, Keola merasakan aura yang lebih santai di sekelilingnya. Dan benar saja, Arvin tampak merespon candaan itu dengan santai, ikut melepaskan tawa renyah.

"Masa untuk pacar-pacaran udah lewat buat saya, La. Saya maunya nikah, gimana?"

Deg! Respon Arvin yang satu itu sama sekali tidak Keola perkirakan. Hasilnya? Jantungnya lagi-lagi berdebar tidak karuan. "Kamu kalau bercanda hati-hati, Vin. Salah-salah, nanti ada yang menyalah-artikan candaan kamu, loh!" Keola berusaha menimpali dengan wajar.

"Saya gak ngapa-ngapain aja udah banyak disalah-pahamin sama orang. Makanya, di rumah sakit, teman wanita saya sedikit. Cuma beberapa saja yang benar-benar akrab, yang kebanyakan sudah bersuami, punya tunangan atau pacar, dan kalaupun single, orangnya gak baperan."

Keola termangu.

Ya ampun...betapa pria di sampingnya ini merupakan calon suami idaman perempuan masa kini, termasuk Keola. Dimana lagi di belahan bumi ini, bahkan di Indonesia, dia bisa menemukan laki-laki seperti Arvin yang menjungjung keseriusan, ketika kebanyakan laki-laki lain hanya bisa memberikan harapan palsu berupa janji-janji manis yang tidak tahu akan benar-benar diwujudkan atau tidak?

Gawat...rasanya, Keola jadi semakin jatuh ke dalam pesona pria ini.


Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang