|TBL:Chapter 11|

9K 1.1K 33
                                    


"Kak!"

Keola menoleh ke arah datangnya suara riang yang dinantikannya. Vania, gadis kecil itu tengah berlari menghampiri dirinya yang sedang memotong-motong sayuran. Melihat Vania yang berlari menghampirinya, Keola segera menghentikan aktifitasnya, dan menyambut Vania dengan pelukan hangat, seraya menggendong tubuh mungil itu.

"Gimana liburannya? Seru?" tanya Keola. Di luar dugaan, Vania malah mengeluarkan sungutan kesal.

"Apanya seru? Di vila terus, Kak. Vania bosen, makanya minta pulang," jawab Vania, terus terang, mengundang tawa Keola.

"Yauda, sekarang Vania istirahat, ya? Tuh, ditemenin sama Papa kamu." Keola menunjuk ke arah Arvin yang baru saja mengunci pintu depan, dan sedang berjalan menuju sofa ruang tengah. Menuruti Keola, Vania menganggukkan kepalanya sekali, kemudian menyusul Arvin.

Kembali ke pekerjaannya, Keola menghembuskan napas resah melihat potongan-potongan daging ayam yang belum dibumbui. Ini salahnya karena terlambat bangun pagi, sampai-sampai Arvin harus mengetuk pintu kamar Keola, karena mengetahui rencana Keola yang ingin pergi ke kampus jam sepuluh nanti, dan gadis itu belum juga keluar dari kamarnya padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Pria itu bahkan sampai membuat sarapannya sendiri. Asisten macam apa Keola ini?

"Keola..."

Keola menoleh. Arvin, yang barusan memanggilnya ternyata tengah berjalan ke arahnya.

"Iya?"

"Biar saya yang lanjutin kerjaan kamu. Kamu siap-siap aja ke kampus."

"Tapi, Vin—"

"Gak ada tapi-tapi. Gini-gini saya bisa kok masak tumis-tumisan ala kadarnya, atau sekedar masak bumbu semur kecap. Jadwal kerja saya diubah jadi ke shift malam hari ini. Jadi, kalau nanti kamu pulangnya agak sore juga gak masalah."

Keola mendesah, "Maaf ya, Vin...kerjaan saya jadi gak beres gini," timpal Keola, seraya mencuci tangannya dengan sabun, kemudian mengeringkan tangannya yang basah dengan menepuk-nepukkan tangan ke kedua pahanya. "Mudah-mudahan gak sampai sore, kok..."

Arvin terkekeh, "Kamu mau bimbingan skripsi, kan?" tanya Arvin, "Biasanya yang namanya nungguin dosen pembimbing itu gak sejam dua jam, kecuali kamu lagi beruntung."

Keola terkikik, "Jangan sampai omongan kamu barusan malah jadi kejadian di saya hari ini." Keola melirik ke arah jam dinding, sudah hampir jam setengah sepuluh. "Aduh, gawat!" Keola berlari menerobos Arvin. Bergegas menuju kamarnya, dan mengambil tasnya.

Sebelum Keola melewati ambang pintu keluar, Arvin memanggilnya lagi...

"La!"

Keola menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang, "Iya, Vin?"

"Hati-hati di jalan. Sukses ya bimbingannya," ujar pria itu memberi semangat, yang sukses membuat Keola tersenyum malu.

***

"Itu Pak Tua kepala botak bener-bener minta gue santet, La!"

Keola tertawa keras, sambil melihat keadaan sekeliling, khawatir kalau-kalau seseorang yang sedang menjadi subjek pembicaraan Dyah muncul tanpa diduga-duga.

"Ini udah kali ke-lima gue revisi. Gue bener-bener jungkir balik berminggu-minggu buat bikin isi bab yang sesuai sama keinginan doi, eh—ujung-ujungnya yang disetujuin yang pertama kali gue kasih ke dia! Gimana gue gak kesel?!"

"Namanya juga dosen, Dy..." Keola membuat jeda di sela-sela kalimatnya, untuk menghabiskan es teh manisnya, "...mereka tuh ibarat Tuhan di kampus. Jangan dilawan, kalau murka, lu kena azab. Perih banget azabnya; jadi mahasiswa abadi."

Dyah menunjukan ekspresi ngeri, "Idih amit-amit, ya Allah!" serunya, menggelengkan kepala kuat-kuat. "By the way, gue perhatiin muka lo seneng-seneng aja, nih. Bimbingannya lancar, ya?"

Keola menghela napas panjang, "Bimbingannya lancar, tapi gue barusan dapat teguran dari orang keuangan. Disuruh segera lunasin biaya semester," katanya, menunjukkan raut wajah muram. "Gimana nih, Dy? Bingung gue..."

Dyah ikut merasakan segenap perasaan tidak enak yang dirasakan Keola. Mereka sudah bersahabat lama, suka duka yang mereka lewati tak terhitung jumlahnya. Setiap kesusahan yang dialami Dyah, Keola tidak pernah tidak berusaha membantu meringankan bebannya, jadi...bagaimana mungkin Dyah tidak memiliki keinginan untuk membantu Keola? Dan lagi-lagi...ia merasakan penyesalan kesekian kalinya yang terlalu tergiur membeli hp merek apel kroak yang sekarang sedang tergeletak di atas meja di depannya.

"Apa?" Keola menyadari arti tatapan Dyah. "Jangan bilang lagi soal penyesalan lo yang keburu beli Iphone lagi ya, Dy..." Keola memperingatkan, sementara Dyah menyengir merasa bersalah. "Lo udah ngebantu gue lebih dari cukup, Dy. Merekomendasikan kerjaan di tempat Arvin tuh udah membantu banget. Sayangnya, orang keuangan minta gue lunasin pembayaran gue, ketika uang gaji gue dari Arvin belum turun."

"Kalau gitu lo minta aja sekarang. Kasih tahu ke dia lu butuh buat bayar uang kuliahan lo."

Keola memandangi Dyah dengan tatapan ragu. "Lo yakin? Gue gak enak tahu, Dy. Gue kan hitungannya bener-bener baru banget kerja sama dia. Terus tahu-tahu udah minta uang gaji turun cepet?"

"Menurut gue gak ada salahnya, sih. Posisi lo juga kan lagi mendesak banget. Lo nerima duit dari Ibu juga gak mau, kan?"

Keola mengangguk lemah, "Iya, sih..."

"Yaudah, lo tinggal bilang sama dia. Gue yakin dia ngerti kok, La. Emang, sih...di awal-awal kerja, lo sempet ada masalah sama dia, tapi sekarang kan hubungan kalian baik-baik aja. Insting gue yakinnya, dia gak cuma ganteng di luar aja, La. Dalemnya juga ganteng..."

"Dalem? Atau dalem?" Keola menyeringai, mengarahkan pikiran Dyah ke topik pembicaraan yang sudah di luar konteks.

"Jangan mulai racunin gue, La..." Dyah memutar bola matanya. "Ardhi sempet ngeluh, sekarang gue kalo bercanda bawaannya jorok mulu. Gara-gara lo, nih!"

Keola tertawa, "Enak aja! Itu mah emang dasaran lo nya aja, Dy!" timpal Keola, tidak terima dengan tuduhan Dyah. "Eh iya juga...ngomong-ngomong soal Ardhi—udah lama banget gue gak ketemu dia."

"Dia lagi sibuk, La. Ngerjain proyek gitu, bisnis kecil-kecilan sama temennya, Bram—masih inget, kan?"

Benak Keola langsung memunculkan sosok Bram di dalam kepalanya. "Iya, inget, kok. Bisnis apaan emang?"

"Kafe gitu, tapi kafenya gak di sini, di Jogja."

"Buset. Gak kurang jauh, Dy?" Keola membeo. "Kenapa gak yang deket-deket sini aja?"

"Jadi, nyokapnya Bram itu punya restoran yang udah terkenal di Bali. Tadinya berencana buka cabang di Jogja. Tempatnya udah ada, tinggal dekor-dekor aja gitu, dan mulai promo. Tapi, gak tahu kenapa, nih...nyokapnya jadi ragu buat buka cabang restoran di situ. Nah, daripada tempatnya terbengkalai, Bram akuisisi itu tempat buat dia nyoba-nyoba bikin kafe. Ardhi diajakin sama dia."

"Oh...anak orang kaya?" gumam Keola, menahan wajahnya dengan tangan kiri yang ditumpangkan ke atas meja. "Kelihatan, sih, dari gayanya..."

"Kaya, ganteng, pinter, baik..." Dyah mulai tersenyum penuh arti, sambil sesekali melirik Keola, "Lo gak tertarik buat kenalan lebih deket sama dia, La? Senggaknya, kalau nanti Arvin bawa pacar ke rumah, lo gak bakalan patah hati banget-banget yang sampai bisa bikin lo termehek-mehek gitu..."

"Ya Allah...sekali aja dalam hidup gue—ini orang kapan, ya? Gak berusaha jodoh-jodohin gue di tiap kesempatan?" cerocos Keola, sedikit berbisik, seraya melirik sebal ke arah Dyah—yang sedang melambaikan tangan ke atas, sambil memanggil nama orang yang sedang jadi topik pembicaraan mereka, Bram.


Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang