|TBL:Chapter 19|

10.4K 863 83
                                    

Halo! Sorry banget kemarin lagi hectic plus gak enak badan :( jadi telat update...


"Jadi gimana?" Arvin langsung mengajukan pertanyaan, bahkan sebelum ia duduk.

Pengacara yang mengurus perceraiannya dengan Eva, Gerry—yang juga sahabat baik Arvin sejak SMA—sampai terbengong-bengong mendengar pertanyaan Arvin. "Lo gak ada basa-basinya sama sekali ya? Di mana-mana, orang tuh cupika-cupiki dulu, nanyain kabar temennya... bukan kayak lo barusan!"

Arvin memanggil salah seorang pelayan kafe di dekatnya sebelum ia duduk berhadapan dengan Gerry. "Emangnya kita ibu-ibu arisan RT, kalau ketemu kudu cupika-cupiki?"

"Itu cuma pengandaian keleus!" Gerry menyodorkan amplop cokelat berukuran besar. Pria itu menggigiti kuku ibu jarinya—kebiasaan yang tidak hilang sejak zaman mereka mengenakan seragam putih abu-abu—dia melakukan itu hanya jika ia sedang gelisah. Jadi, apa penyebab Gerry merasa stres? Arvin berharap, semoga bukan Eva penyebabnya.

Arvin menyugar rambutnya. Kedua bola matanya menatap lurus ke arah Gerry. Pria itu sedang mencoba membaca apa yang kira-kira ada di pikiran pengacara kondang di daerah Jakarta dan sekitarnya itu. Yah, meskipun belum setingkat dengan Hotman Paris.

Mendapat tatapan tajam dari Arvin, Gerry merasa seperti sedang duduk di kursi pendeteksi kebohongan yang bisa menghantarkan listrik jika ia nekat berusaha mengulur-ulur waktu pembicaraan. Jadi, pria itu buru-buru membuka suara, "I think—it isn't as easy as we thinked, Vin. Eva menolak menandatangani berkas yang gue kirimkan ke dia."

Helaan napas Arvin seolah menyuarakan pikirannya. 'I knew it.'

"She called me. Dia bilang dia gak bisa menerima gitu aja perceraian lo sama dia."

"Dia sudah happy dengan selingkuhannya. Gue udah ceraiin dia secara agama. Terus, apa lagi?" Deru napas yang tidak beraturan, menandakan Arvin mulai dilanda kemarahan. Saat ini masih ada di tingkat satu. Status Gerry—kedua telinganya—masih aman.

"Sebaiknya, lo siap-siap deh, Vin. Bisa jadi saat ini dia sedang dalam perjalanan menuju Jakarta buat ketemu lo. Lo tahu gimana Eva." Gerry menyedot es kopi susunya keras-keras, sampa terdengar bunyi pertanda bahwa minumannya sudah habis. Jadi, ia memesan minuman yang sama kepada pelayan yang baru saja menghampirinya dengan alat tulis dan kertas kecil di tangan.

Arvin mengibaskan tangannya saat pelayan itu menanyakan apakah ia juga akan memesan minuman atau makanan. Arvin datang ke kafe dalam keadaan haus dan lapar, dan pembicaraan tentang Eva benar-benar mengacaukan seleranya. "Kapan Eva telpon lo?" tanya Arvin, sambil memijit-mijit pelipisnya.

"Tadi siang. Gue sempet ngenalin suara-suara berisik dari tempat dia nelpon, sih..." Gerry memajukan kursinya sendiri. "Dia di stasiun Bandung. Kalo bener dia berniat mau ke sini, seharusnya dia udah nyampe."

***

Vania memeluk boneka beruangnya sambil mendengarkan saksama dongeng yang sedang diceritakan Keola. Dongeng Momotaro, tentang anak yang lahir dari buah persik yang hanyut di sungai, dan dirawat oleh Kakek dan Nenek yang baik hati, yang tidak memiliki keturunan. Ini adalah pertama kalinya Vania diceritakan dongeng Momotaro, dan dari binar matanya, Vania benar-benar menyukai cerita dari Negeri Sakura itu.

"Hebat ya Momotaro. Bisa ngalahin setan. Vania malah takut sama setan," ujar Vania, usai Keola menyudahi ceritanya. "Vania juga mau jadi kuat kayak Momotaro, bisa ngelindungan Papa sama Kak Keola dari setan jahat." Lalu, anak manis itu menirukan gerakan silat dengan kedua tangannya yang mungil.

Keola tertawa. "Kalau mau jadi kuat, Vania harus makan yang banyak, rajin olahraga, gak malas mandi, dan..." Keola membetulkan letak selimut Vania. "...tidur tepat waktu."

Vania menutupi mulutnya sendiri saat menguap. "Met tidur..." katanya, nyaris mencicit.

"Met tidur, Vania. Jangan lupa doa dulu...."

Setelah memastikan Vania benar-benar sudah terlelap, Keola pun beranjak dari kasur, lalu perlahan keluar dari kamar Vania. Ia sengaja tidak menutup rapat pintu kamar Vania, agar jika sewaktu-waktu gadis kecil itu terbangun dan mulai merengek, Keola bisa segera datang dan menemani Vania hingga kembali ke alam mimpinya.

Sekarang sambil menunggu kepulangan Arvin, Keola berniat mengerjakan revisi skripsinya. Ia bahkan sudah menyiapkan laptopnya di meja ruang tengah, lengkap dengan camilan dan beberapa botol air mineral untuk menjadi bahan bakarnya.

Belum genap lima menit Keola berkutat dengan syarat wajib kelulusannya itu, suara lift berbunyi nyaring, menandakan seseorang baru saja memasuki apartemen.

"Katanya bakalan pulang malam banget? Tuh... aku udah siapin makan malam buat kamu. Ada di meja makan." Keola berbicara, tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Jemarinya sibuk menekan tombol-tombol keyboard laptopnya, dan kedua matanya benar-benar fokus menatap layar.

"Kamu... siapa?"

Sontak Keola menghentikan kegiatannya. Suara barusan bukan milik Arvin, melainkan seorang perempuan cantik bertubuh ramping yang tampak sempurna dengan setelan blazer dan rok selutut berwarna hitam. Fitur wajah perempuan itu mengingatkan Keola akan Vania, dan pertanyaan barusan... astaga, jangan-jangan dia....

"Aku-kamu? Kukira kamu pembantunya Arvin, tapi sepertinya bukan ya?" Perempuan itu tersenyum dengan cara yang cukup jitu membuat jantung Keola mencelos. "Kayaknya aku gak perlu repot-repo memperkenalkan diri, karena sepertinya kamu udah bisa menebak siapa aku."

Keola menelan ludah susah payah. Perlahan, ia bangkit dari duduk bersilanya di lantai. Kemudian, lift lagi-lagi berdenting. Kali ini, Arvin yang datang.

"Eva...." Arvin menatap horor ke arah perempuan yang kini sedang melipat kedua lengannya di depan dada. Menyadari Keola tampak kebingungan dan gelisah, ia buru-buru menghampiri Keola dan berdiri di belakang kekasihnya yang tengah lupa caranya bicara itu.

Sebelah alis Eva terangkat, bersamaan sebelah sudut bibirnya yang dipoles lipstik merah marun. "Ah... terjawab sudah pertanyaan tentang bahasa aku-kamu. Tapi, keberadaan dia gak menyurutkan niat aku ke sini, Vin. We need to talk." Kalimat terakhir Eva penuh penekanan yang tidak menyenangkan di telinga Keola. Apa pun yang ingin dibicarakan perempuan itu, dia bisa menebak setidaknya 10-20%. Dan kabar buruknya, itu jelas bukan sesuatu yang menyenangkan untuk Keola simak atau bahkan dengar hasilnya saat Arvin menceritakan kembali padanya. 

Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang