Keola memandang ngeri ke arah kerumunan orang-orang yang mengantre masuk ke dalam kereta, kemudian mengalihkan pandangannya pada Arvin. Pria itu menunjukkan raut wajah datar, seolah tidak mempermasalahkan kerumunan orang-orang yang hampir tidak ada bedanya dengan kumpulan semut mengerubungi remahan biskuit.
"Vin..." panggil Keola. "Kamu yakin mau naik kereta?"
Arvin menoleh sekilas, "Saya nggak perlu capek nyetir kalau naik kereta. Belum lagi macetnya."
"Tapi itu rame banget," timpal Keola. "Nggak kasihan sama Vania? Dia nggak mau naik kereta khusus wanita, loh."
Arvin belum sempat menjawab, dan mereka bertiga sudah terdorong masuk ke dalam kereta oleh orang-orang yang berdesakan. Keola refleks menggendong Vania saat gadis kecil itu hampir terjatuh. Mereka bertiga berhasil masuk ke dalam kereta, tapi Arvin terpisah sejauh hampir tiga meter dari Keola dan Vania.
Keola berdiri di tengah-tengah kereta. Tidak ada satupun dari orang-orang yang duduk, bersedia memberikan kursi mereka untuk Keola, atau paling tidak untuk Vania. Semuanya berpura-pura tidur, atau berpura-pura sibuk memainkan hp-tipikal orang-orang egois dan sebagian besar mereka laki-laki. Yah, mungkin mereka lebih lemah dari perempuan, pikir Keola-kesal.
Arvin, Keola, dan Vania sedang menaiki kereta tujuan Kampung Bandan, stasiun terdekat dengan Dunia Fantasi. Begitu Vania tahu Arvin berniat mengajaknya pergi ke Mal, Vania merengek ingin pergi ke Dufan. Katanya dia bosan kalau terus-terusan diajak ke Mal yang sama, dengan rutinitas yang sama. Keola menduga, mungkin Arvin selalu mengajak Vania makan di restoran yang sama, dan berakhir dengan membelikan banyak mainan di toko mainan yang sama juga.
Meskipun kereta penuh sesak, mereka bertiga beruntung karena mendapatkan kereta yang AC nya dingin. Bukan kereta yang hanya memakai kipas angin dan AC nya seperti tidak memiliki kegunaan sama sekali. Layaknya anak kecil yang manis, Vania sama sekali tidak rungsing seperti anak kecil yang sedang menangis di pojok gerbong.
Keola tersenyum simpul, melihat Vania sekuat tenaga berusaha menahan kantuk. "Tidur aja, Vania. Nanti Kakak bangunin kalau sudah sampai di stasiun," kata Keola, dan dijawab dengan Vania yang merangkulkan tangan ke leher Keola, seraya menelusupkan wajahnya ke ceruk Keola.
Saat Vania sudah mulai pulas tertidur, Keola merasakan seseorang menggerayangi pinggangnya. Keola terkesiap, ia berusaha mencari si pelaku, tapi kondisi kereta yang benar-benar padat menyulitkannya untuk menoleh meskipun sedikit. Apalagi ia sedang menggendong Vania.
Keola menggerakkan tubuhnya gelisah. Tangan kasar itu sempat berhenti menggerayanginya, namun saat Keola menghentikan gerakannya, si pemilik tangan kembali melancarkan aksinya bahkan lebih berani. Keola meringis merasakan seseorang itu mengelus sekaligus meremas pantatnya. Sentuhannya begitu terasa karena Keola sedang mengenakan celana berbahan kulot.
Baru saja Keola akan berteriak, tiba-tiba saja tubuhnya terdorong ke depan, bersamaan dengan kegaduhan yang terjadi dari belakangnya. Keola membelalakkan kedua matanya, terkejut melihat Arvin memukuli seorang pria yang kira-kira hampir seusia dengannya. Di antara pemukulan itu, orang-orang berteriak riuh; sebagian menyuruh Arvin berhenti, sebagian menyuruh Arvin meneruskan, dan sebagian lainnya memanggil petugas keamanan kereta.
Vania terbangun dan langsung menangis melihat Arvin berkelahi. Keola menutupi mata Vania, dan baru membukanya lagi saat petugas keamanan berhasil melerai Arvin dan laki-laki yang melecehkan Keola. Bertepatan dengan itu, pintu kereta terbuka dan sebagian besar penumpang termasuk si pelaku pelecehan beserta dua orang petugas keamanan pun keluar dari gerbong. Satu stasiun lagi sebelum mereka sampai di stasiun Kampung Bandan.
"Lain kali jangan diam aja dong!" hardik Arvin. Penampilan pria itu jadi sedikit berantakan, namun entah kenapa tetap terlihat keren. "Lawan dong kalau ada yang kayak gitu!"
"Saya nggak bisa ngapa-ngapain!" Keola merujuk pada kondisi dirinya yang sedang menggendong Vania. "Saya baru aja mau teriak, tapi situ udah main hajar duluan."
Arvin mengedarkan pandangannya ke seluruh bangku di gerbong. Semua bangku sudah terisi, dan kereta yang tadi lengang mulai disesaki penumpang lagi. Arvin menarik Keola ke pojok pintu masuk kereta di bagian tengah. Setelah pintu tertutup, Arvin merapatkan jaraknya ke Keola, lalu merentangkan tangan kirinya di samping kanan Keola yang menghadap ke dirinya.
Keola berharap Vania tidak curiga dengan detak jantung Keola yang mendadak berpacu cepat karena tindakan Papa kerennya itu. Dagu Arvin tepat berada di atas kepala Keola. Pria itu benar-benar tinggi, dan karenanya Keola tidak perlu bersusah payah bersikap cool menyembunyikan rasa malunya dari tatapan Arvin. Pria itu akan langsung menyadari sikap Keola yang salah tingkah nantinya.
Bagaimana tidak? selain karena perlakuan Arvin padanya, ada hal lain yang menjadi pemicu kuat sampai-sampai Keola tidak bisa mengendalikan detak jantungnya lagi...
His scent somehow influenced her...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tamed By Love
RomanceSinopsis Keola. Seorang gadis berusia 23 tahun yang sedang menempuh pendidikan sarjana di salah satu universitas negeri di Indonesia. Ia adalah anak yatim yang merantau jauh-jauh dari kota kelahirannya demi meraih kehidupan yang lebih baik. Hidup...