|TBL:Chapter 18|

5.2K 742 107
                                    

Masih ingat cerita ini?


"Vin, bangun...."

Arvin mengerjapkan matanya dengan gerakan lambat. Kemudian bayangan di hadapannya terlihat semakin jelas, menampakkan Keola dan rambutnya yang setengah kering usai dikeramas. "Jam berapa ini?" tanya Arvin, masih enggan meninggalkan kasur.

"Udah jam setengah enam. Kamu buru-buru mandi terus siap-siap magriban." Keola beranjak dari kasur Arvin, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang melingkar di lehernya.

Belum jauh Keola berjalan meninggalkan kasur, Arvin meraih pinggang gadis itu hingga tubuh mungil berbau sabun itu jatuh tepat di sisi kosong di sampingnya. Arvin kemudian merangkulkan sebelah tangannya di perut Keola yang mulai meronta.

"Vin, lepasin ih...." Keola mencoba melepaskan diri dari rengkuhan Arvin. "Nanti dilihat Vania loh!"

"Emang dia di mana?" Suara Arvin terdengar samar, karena pria itu tengah menenggelamkan wajahnya di pundak Keola. Menyibukkan diri menghirup dalam-dalam harum Keola yang menenangkan, dan tanpa sadar ia melengkungkan senyum. Nyatanya ia bisa menemukan ketenangan dari Keola, hanya dengan hal-hal kecil yang mungkin gadis itu sendiri tidak menyadarinya. Ah... pelukan ini akan terasa semakin menyenangkan jika mereka benar-benar sudah menjadi suami-istri.

"Vania lagi mandi. Barusan aja," jawab Keola. Gadis itu sudah tidak meronta-ronta lagi. Mungkin capek berusaha melepaskan diri, sementara tenaganya kalah kuat dengan Arvin.

"Vania kalau mandi lama," sahut Arvin. Pria itu beringsut merapat kepada Keola. Lagi-lagi ia menguatkan pelukannya saat menyadari Keola hendak kembali meronta. "Ssh... bentar aja."

Keola diam. Arvin benar-benar menyebalkan. Tidakkah dia tahu bagaimana kerasnya debaran jantung Keola saat ini? Atau mentang-mentang dia seorang dokter, sehingga tidak masalah jika jantung Keola melompat keluar karena dia bisa membedah dan mengembalikannya lagi ke asal?

"Keras banget, La."

"Apanya?" Terlalu gugup, membuat nada suara Keola justru terdengar sinis.

Arvin menyejajarkan kepalanya dengan Keola. "Detak jantung kamu."

Wajah Arvin lantas menggantikan pemandangan langit-langit kamar yang semula dilihat Keola. Setengah tubuh pria itu, kini sedang berada di atas tubuh Keola. Arvin menahan beban tubuhnya dengan sebelah sikunya, sementara sebelah tangannya yang bebas memegangi dagu Keola.

Keola merasa seolah-olah isi kepalanya kosong tiba-tiba. Dia hanya diam, sementara perlahan wajah Arvin mulai memakan habis jarak di antara mereka. Arvin memejamkan mata saat bibirnya yang setengah terbuka menempel di bibir Keola yang tertutup rapat. Pria itu tidak memaksa Keola untuk memberikan celah, namun rasa basah di bibirnya membuat Keola membuka bibirnya seakan-akan ia terhipnotis.

Tentu saja Arvin menyambut kesempatan itu dengan baik. Pria itu adalah seorang pencium yang ulung, namun Keola bukan seseorang yang 'berpengalaman'. Dan usaha gadis itu untuk mengimbangi Arvin, justru membuat Arvin kewalahan sendiri mengontrol desakan gairahnya. Akhirnya, pria itu menyudahi ciuman pertama mereka, hanya dalam lima detik.

Arvin menarik napas dalam-dalam, lalu menggeram pelan sambil menyentuhkan keningnya dengan kening Keola yang masih memejamkan mata. Gadis itu terlalu malu untuk bertatapan dengan Arvin. Barusan adalah pengalaman pertama baginya berciuman dengan seorang pria. Arvin adalah yang pertama, dan hati Keola kini dipenuhi rasa bangga.

Merasakan gerakan kasur yang sedikit bergelombang di sampingnya, Keola pun membuka mata dan mendapati Arvin kini tengah kembali berbaring. Perlahan, Keola menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari. Meraba, merasakan kelembaban yang dihantarkan Arvin melalui lumatan kecil yang pria itu lakukan. Kehangatan yang kini meliputi hati dan pikiran Keola, hampir tidak ada bedanya dengan musim semi yang penuh bunga.

Keola menurut saja ketika Arvin membawanya ke dalam pelukan. Gadis itu bahkan melingkarkan lengannya di perut Arvin tanpa ragu. Arvin mengusap dan mencium puncak kepala Keola sebelum kemudian membuka suara, "La...." Suara Arvin terdengar sedikit serak.

"Ya?"

"Aku bakalan jagain kamu, La."

"Bukannya barusan udah kelepasan?" Keola terkekeh. Sejenak kemudian dia menghentikan kekehannya, karena Arvin tidak bereaksi sama sepertinya.

"Kapan kamu bimbingan lagi?"

Keola mencoba untuk tidak tersinggung, meskipun sebenarnya dia kesal mendengar pertanyaan Arvin. "Percayalah, Vin. Aku mau banget bisa rajin-rajin bimbingan. Tiap hari juga gak masalah. Tapi, dosen pembimbing aku lumayan sibuk." Keola tidak sepenuhnya berterus terang. Ia belum bisa menceritakan permasalahan keuangannya kepada Arvin. Dia tahu, Arvin akan mengambil keputusan sendiri dan memaksa Keola membiarkan Arvin yang melunasi biaya kuliah Keola. Masalahnya, Keola tidak mau merepotkan Arvin.

Memikirkan tentang masalah keuangan yang tengah menjeratnya, membuat Keola tanpa sadar memeluk Arvin lebih erat.

"La, awas itu—aduh, jangan gi—"

"IH, APAAN INI, VIN?!" Keola refleks berteriak, begitu merasakan sesuatu yang keras menekan perut bawahnya. Gadis itu melepaskan pelukannya, lalu ternganga begitu pandangannya mendapati salah satu bagian di celana Arvin tampak menggembung. "Vin...."

Arvin buru-buru mengambil bantal yang semula menyanggah kepalanya, lalu menutupi miliknya yang bersembunyi di balik celana yang terasa mengetat. "Aku—aku bisa jelasin, La."

***

Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang