|TBL:Chapter 14|

7.1K 1.3K 191
                                    

Makasih ya! seneng deh liat komen dan vote banyak lagi :')

Nih, sesuai janji aku!


Keola termangu menatap jalanan lengang di hadapannya. Arvin melajukan mobil dengan kecepatan sedang, tidak lambat, tidak pula terlalu cepat. Dan beruntungnya, jalan menuju Bandung tidaklah macet. Yah, mungkin karena mereka berangkat di saat orang-orang sedang tertidur pulas. Entahlah—yang jelas, sekarang Keola sedang merasa sedikit gelisah karena membawa Arvin beserta Vania ke rumahnya. Bagaimana kalau Arvin bercerita secara gamblang kalau Keola tinggal di rumahnya sebagai asisten—ah, kasarannya, sih...pembantu—kepada Ibunya? Mungkin Ibunya tidak akan mempermasalahkan pekerjaan Keola, toh bekerja mengurusi kebutuhan rumah tangga orang lain termasuk pekerjaan yang halal, kan? tapi, tentang Keola yang tinggal seatap dengan pria yang bukan muhrimnya?

"Ibu kamu orangnya kayak gimana, La?" Tiba-tiba Arvin memulai pembicaraan.

Keola buru-buru menguasai diri, "Ehmm...yang jelas, Ibu saya orang baik." Keola menyampirkan anak-anak rambut yang jatuh dari ikatan rambutnya ke belakang telinga. Tiba-tiba dia jadi merasa antusias menceritakan tentang Ibunya. "Ibu wanita yang kuat. Sejak Ayah meninggal, Ibu kerja keras mati-matian untuk menghidupi saya."

"Ibu kamu kerja apa?"

"Ibu bikin warung kecil-kecilan di rumah, Vin. Masakan Ibu saya enak banget loh! Nanti kamu harus coba..."

"Yah, gak heran, sih—pantesan kamu pinter masak ya." Arvin melemparkan senyum sekilas kepada Keola. Duh...padahal cuma senyum sedikit, tapi Keola udah berdebar-debar gak karuan!

"Kalau almarhum Ayah kamu, meninggal kenapa? Sakit ya?"

Keola mengangguk, "Ayah sakit gagal ginjal."

Arvin manggut-manggut, "Ibu kamu gak mau nikah lagi?"

Keola menggeleng, "Ibu saya gak pengen ketemu orang lain di akhirat nanti. Maunya Ayah aja katanya." Usai mengucapkan itu, Keola tertawa karena mengingat bagaimana raut wajah Ibu saat ditanya tetangga-tetangga sebelah rumahnya perihal menikah lagi. Padahal saat itu Ibu sedang sedih-sedihnya, tapi cara Ibu mengungkapkan perasaannya terdengar seperti candaan yang membuat Ibu-ibu tetangga bahkan Keola sendiri tertawa. Tapi apa ya alasannya saat itu? Keola hanya ingat ekspresi Ibunya yang lucu.

"Saya kalau jadi Ayah kamu sih seneng banget—punya istri setia kayak Ibu kamu."

"Jadi, kamu mau jadi Ayah tiri saya maksudnya?"

"Eh bukan gitu..." Arvin tertawa. "Kalau saya sih, sama anaknya aja."

Duh Arvin...kalau jantung Keola beneran copot gimana?

"Pantesan cewek-cewek di luar sana pada baper sama kamu, Vin. Kamunya aja kalau ngajak bercandaan kayak gini..."

"Kayak gini gimana, La?"

"Ya gini, suka bikin cewek salah paham gara-gara kegeeran!"

"Jadi kamu lagi geer sama omongan saya tadi nih?" Arvin menginjak pedal rem perlahan. Lampu merah sudah menyala.

Keola dilontarkan pertanyaan seperti itu jadi makin salah tingkah. "Ehm, maksud saya bukan gitu..." Keola buru-buru memikirkan kata-kata untuk mengelak dari tuduhan Arvin yang tepat sasaran itu, tapi tidak ada satupun ide yang terpikirkan olehnya. Ah, coba dijawab begini, "kamu pengen banget ya saya kegeeran sama kamu?" kata Keola akhirnya dengan tawa yang sedikit dipaksakan.

Tapi diluar dugaan, jawaban Keola barusan malah menjadi senjata makan tuan bagi gadis itu...

"Kalo iya gimana?" ujar Arvin. Meski pandangannya tidak menatap Keola langsung karena pria itu sedang bersiap melajukan mobilnya lagi, tapi ada keseriusan dari nada bicaranya kepada Keola.

"Ya...gak gimana-gimana, sih..." timpal Keola tertunduk. Ah...Bandung masih jauh ya?

***

Rumah kecil sederhana bercat putih gading, dan berpagar hitam dengan besinya yang sudah berkarat di beberapa bagian, tampak terang benderang karena adanya beberapa lampu taman yang sepertinya baru dibeli Ibunya, setelah Keola kembali ke Jakarta usai lebaran tahun lalu. Wah, selama itukah Keola belum pulang?

Rumah Keola memang kecil, tapi halamannya cukup luas. Ibu dan almarhum Ayahnya senang bercocok-tanam. Ada beberapa jenis bunga bahkan bumbu-bumbu dapur yang ditanam di halaman rumahnya.

Arvin baru saja keluar sambil menggendong Vania dari dalam mobil, saat Keola baru saja membuka pintu pagar agar Arvin bisa memarkirkan mobilnya di halaman rumah Keola. Tapi karena sudah terlanjur membawa Vania di dalam gendongan, Arvin bilang setelah sholat subuh nanti dia akan memindahkan mobil ke dalam. Hmm, benar juga ya, mereka baru sampai di jam tiga pagi. Apa Ibunya Keola sudah bangun?

"Assalammualaikum..." Keola mengetuk-ngetuk pintu rumah. "Bu..."

Tak lama kemudian, suara wanita yang amat sangat dirindukan Keola itu pun terdengar dari dalam rumah. "Waalaikumsalam. Anak Ibu ya?!" Seruan Ria terdengar begitu riangnya setelah mengetahui anak semata wayangnya sudah pulang.

Pintu pun terbuka. Ria menyongsong Keola dengan sebuah pelukan erat nan hangat. "Ya ampun, Ibu kangen banget, Nak!" ujar Ria, seraya mengendurkan pelukannya. Kemudian, wanita berparas mirip dengan Keola itu melihat ke arah Arvin dengan tatapan bertanya-tanya, "ini siapa, Ola?"

Deg! Karena terlalu gugup selama perjalanan memikirkan kata-kata Arvin padanya, Keola sampai lupa kalau dia belum menemukan kalimat yang tepat untuk memperkenalkan Arvin!

"Ehmm...anu, Bu...anu...ini—"

"Apa kabar, Bu..." Arvin membungkuk, mencium tangan Ria dengan santun, sambil tetap menggendong Vania yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun. "Saya Arvin, calon mantu Ibu."

Keola ternganga, seolah-olah rahangnya akan jatuh.

"Mantu?" Ria mengalihkan pandangannya pada Keola, mencoba meminta penjelasan lebih dari anaknya itu, tapi yang dipandangi justru malah membeku.

Gimana? next kah? Jangan lupa vomment-nya ya! BIar Zee semangat nulis ini

Tamed By LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang