PROLOG

31.1K 1.3K 33
                                    


"Maaf jika mengganggu waktu belajarmu, Sekar. Ada yang harus kita bicarakan bersama kali ini," aku membuka pembicaraan ketika malam ini aku mengajak Sekar duduk di ruang tengah rumah perumnas kami.

"Nggak apa-apa kok, Mas. Kebetulan saya belajarnya sudah selesai," jawab Sekar lirih, menatapku sejenak sebelum kemudian menunduk santun, seperti biasanya. Aku menghela napas, terasa sekali bagaimana beratnya aku harus mengatakan ini. Tapi tak ada jalan lain, karena sepertinya ini yang terbaik.

"Sepertinya malam ini kita harus melakukan check ulang dengan pernikahan yang sudah dua tahun kita jalani. Dua tahun menjalani pernikahan, ternyata tak membuat kita jadi manusia dewasa yang lebih baik, Sekar. Kita bagaikan minyak dan air. Berada dalam satu wadah, namun tak bisa menyatu." Aku berkata dengan lirih dan datar. Kutatap dia yang masih menunduk sambil meremas jemarinya yang aku tahu pasti berkeringat. "Maka daripada menjalani sesuatu yang gamang, aku memutuskan untuk berpisah, Sekar. Aku ingin kita bercerai," lanjutku mencoba tegas dengan apa yang sudah kupikirkan beberapa minggu ini.

Seperti yang aku bayangkan sebelumnya, perempuan ini terbelalak terkejut. Jangankan dia, aku sendiri juga terkejut ketika menyadari bahwa aku memiliki keberanian untuk mengungkapkan niatku menceraikannya.

"Apakah ada sesuatu yang salah, yang sudah aku perbuat, Mas?" Sekar menatapku dengan pandangan mata terluka dan bertanya dengan suara bergetar. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya yang mulai mengambang air mata meski tipis. Mata beningnya kali ini menikam jantungku, tapi keputusanku sudah bulat.

Aku tersenyum penuh ironi sambil menggeleng tegas, mengisyaratkan bahwa dia tidak bersalah dalam hal ini.

"Tidak, Sekar. Kamu tidak bersalah. Sekalipun kamu tak pernah melakukan kesalahan padaku selama pernikahan kita. Tapi maaf, Sekar. Aku tak bisa mempertahankan pernikahan kita. Dan aku ingin kita bercerai dengan baik-baik, sebagaimana dulu kita memulai pernikahan dengan baik-baik pula," aku menegaskan kembali keinginanku.

Kulihat Sekar menunduk.

"Maka, Sekar....kujatuhkan talak satuku atas dirimu," lanjutku mengucapkan talak dengan suara yang aku yakin terdengar tegas dan penuh keyakinan bahwa aku mengambil keputusan yang benar.

Kulihat Sekar mendongak padaku, menatapku dengan penuh keterkejutan, tanpa berkata sepatahpun. Jangankan dia, aku bahkan juga terkejut dengan keberanianku mengucapkan talak padanya. Tapi melihat ketegasanku menjawab, Sekar kemudian menunduk kembali. Aku tahu ini terlalu kejam kulakukan untuk perempuan sebaik dia. Tapi tinggal bersama dengannya selama dua tahun ini juga tak bisa membuat aku bisa berpaling padanya. Aku hanya berharap, ini keputusan terbaik yang pernah kuambil.

"Mengenai malam itu...aku minta maaf. Aku tahu itu melukai perasaanmu, tapi sekali lagi aku minta maaf. Segala hal yang berurusan dengan perceraian kita, akan aku urus. Dan rumah ini..." aku menghentikan kalimatku dan menyapukan pandangan mataku pada sekeliling rumah ini. "Rumah ini untukmu. Kamu berhak atas tanah dan rumah ini. Kalau masalah dengan Ibu, biar nanti aku yang berbicara pada Ibu. Semoga beliau maklum." lanjutku.

Sekar mengangguk lemah dan masih saja menunduk, meski aku tahu dia menyembunyikan tangisnya.

"Maafkan aku, Sekar."

Hanya itu kalimat terakhir yang sempat aku ucapkan sebelum aku beranjak berdiri meninggalkannya sendirian di ruang tengah, untuk menuju ke kamarku. Kamarku? Ya, aku menyebutnya kamarku, dan bukan kamar kami karena sejak menikah kami memang tidur terpisah.

Sampai di kamar aku merebahkan tubuhku, terlentang diatas kasur dengan kedua tangan kugunakan sebagai bantal. Pelan namun pasti, kenangan-kenangan itu berhamburan dari kepalaku. Ketika malam itu, usai pawiwahan agung yang digelar Sultan, Ayah dan Ibu memanggilku dengan sebuah permintaan konyol yang tak berani kutolak namun akhirnya kusesali.

Malam itu ...

* * *


Hei, teman2 watty... saya hadirkan fiksi baru saya. Tapi jelas yang ini slow update karena target sementara adalah menyelesaikan KEMELUT LEMBAH CHEROKEE yang tinggal beberapa bb lagi.  Seperti biasa, saya selalu meminta kritik, saran, bahkan koreksi agar fiksi ini bukan sekedar cerita fantasi, tapi juga kisah yang hidup dan pantas di baca.

SEKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang