HOW XI

215 42 5
                                    

Astaga, betapa bodohnya aku
Yang masih mencari-cari dirimu
Meski kutahu
Kau sudah pergi terlalu jauh

•••

"Kenapa kau jadi sangat dekat dengan Troy sekarang?" Tanya Nadine begitu kami -entah untuk keberapa kalinya- datang dan menggunakan toilet Super A.

Aku menatap lantai di bawahku, "Aku tidak merasa seperti itu," elakku.

Nadine menyipitkan matanya saat menatap pantulanku di kaca toilet, "Kau bohong."

Aku mengangkat kepalaku dan segera memalingkan pandanganku darinya, "Aku tidak bohong."

"Kau jelas sekali sedang berbohong," sinisnya.

Aku menatapnya, "Hanya karena aku tidak menatapmu, bukan berarti aku bohong!" Bantahku, tanpa sadar suaraku sedikit meninggi. Untunglah hanya ada kami berdua di sini, karena kami memang selalu menggunakan toilet ini berdua. Nadine tidak ingin Rachel tahu dan membocorkan rahasia ini pada orang lain.

Ia mengangkat bahunya, "Hanya karena kau menatapku, bukan berarti kau jujur. Satu-dua kali kau bisa berbohong padaku dan Rachel. Tapi ini sudah... berapa bulan ya? Dua bulan atau lebih?" Ia berbalik dan menatapku seraya bersedekap dada. "Selama dua bulan, kau sangat rutin membuang sampah. Kau juga sering menghilang, akuilah bahwa kau sedang bersama Troy entah bagaimana caranya. Aku tidak tahu ada apa denganmu sebenarnya, Kai?"

"Aku tidak apa-apa, oke?" Aku berusaha meyakinkannya. "Dan kau salah paham. Aku bersama Troy secara kebetulan dan kupikir tak ada salahnya karena aku hanya ingin mengenalnya dengan pemahamanku sendiri. Itu saja."

"Itu saja? Kau yakin itu saja?" Tanyanya seolah tak yakin. "Dan apanya yang kebetulan? Kau benar-benar berpikir semua itu kebetulan?"

"Nad, kau ini bicara apa?"

Nadine mendengus, "Itu keputusanmu, aku bisa apa?" Tanyanya. "Tapi jika nanti Troy memang seburuk yang kukatakan, menjauhlah sebelum ia menarikmu lebih dalam."

"Kau tidak akan katakan hal ini pada Rachel?"

"Katakan apa? Rachel bahkan tahu soal ini lebih dahulu dariku. Ia yang memberitahuku. Dan kau mau tahu kenapa ia bisa tahu? Ia khawatir denganmu, Kai. Kau tinggal di rumahnya tapi kau selalu pulang terlambat. Dan ia mulai mengikutimu, kau sendiri paham kelanjutannya kan?"

Aku menelan salivaku dan menatap sepatuku ragu, "Lalu... bagaimana dengan Rachel? Apa ia marah padaku? Bukankah... bukankah ia menyukai Troy?"

"Ia menyukai Troy dan kau bersama Troy," sindir Nadine.

Aku tercekat, tak berpikir sampai ke sana. "Kupikir... kupikir ia menyukai Troy sebagai... pengagum."

"Sudahlah, Kai. Aku sendiri tidak tahu dan tak peduli soal itu. Tapi sebaiknya, daripada kau memikirkan dirimu dan Troy, pikirkan lebih dulu soal Rachel. Setidaknya, kau harus bicara baik-baik dengannya dan jangan khianati dia dengan keputusan apapun yang kalian buat dan sepakati nantinya."

"Mengkhianati Rachel...? Kau tahu aku tidak mungkin melakukannya."

"Tidak mungkin bukan berarti tidak bisa kan?"

Aku menatap matanya selurus mungkin dan tatapan matanya mulai terlihat mengerikan. Seolah ia sudah tahu apa yang mungkin terjadi dan ia tampak yakin dengan itu.

•••

Begitu kembali dari toilet, kami lagi-lagi berpapasan dengan Troy. Dan untuk sesaat, aku berharap itu tak terjadi hari ini.

Nadine tampak tak peduli, ia tidak mengkonfrontasi Troy seperti biasanya dan langsung melenggang masuk ke dalam kelas. Hal itu tidak membuatku merasa baik-baik saja. Justru hal itu jauh lebih membuatku cemas terhadap hubungan pertemanan kami yang sekarang.

Did I Die?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang