HOW XIII

213 34 14
                                    

Ia mungkin tahu luka-lukamu saat orang lain tidak bisa melihatnya.
Tetapi ia tidak ada di sampingmu ketika kau menangis.
Aku yang menangis bersamamu.

•••

Biasanya, aku memang berbohong pada Rachel. Tapi bukan berbohong untuk pergi dengan Troy. Awalnya aku memang punya tugas, dan kemudian Troy menawarkan diri untuk mengantarku. Dan aku berbohong karena tidak mengatakan soal Troy yang mengantarku. Tapi apapun yang ia lihat, itu hanya kesalahpahaman.

Lalu kemudian, aku sering menolak ajakan Rachel untuk pulang bersama karena aku ingin pergi bersama Troy, meski hanya sekedar untuk di antar pulang. Kadang-kadang, Troy mengajakku makan siang bersama dan membuatku terlambat pulang.

Tapi sumpah, semua itu terjadi karena bermula dari ketidaksengajaan. Semua pertemuan ini. Tatapan dari lapangan basket, tawuran malam hari, pertemuan di luar kelas, hingga akhirnya kami berakhir pulang bersama-sama.

Dan lagi, seperti yang Troy katakan, itu semua terjadi karena kami sama.

Aku menggeleng, "Rachel, dengar... dengarkan aku dulu."

Rachel berbalik, tampak tak peduli denganku dan berjalan cepat, masuk ke dalam rumahnya.

"Rachel, dengarkan aku!"

"Dengarkan apa!" Rachel membentakku tanpa mau melihatku.

"Kau salah paham, semua yang kau lihat itu--"

"Kesalahpahaman?" Rachel berbalik dan tertawa sarkastik, "tentu saja. Aku sudah lihat adegan ini lebih dari seribu kali di berbagai tempat. Televisi, novel, jalanan, bahkan di hadapanku."

"Tapi aku bukan mereka! Aku tidak--"

"Kau tidak akan mengatakan bahwa sebenarnya kejadian itu tidak di sengaja kan? Karena demi apapun, aku sudah melihatmu lebih dari sekali bersama dengan Troy! Kau bahkan berbohong tadi, dan kau masih berpikir aku tak tahu?" Tanyanya tak percaya. "Aku tahu! Aku tahu dan aku diam saja. Aku menunggu kejujuranmu. Tapi melihat kau dan Troy tadi, aku tahu sampai kiamat pun kau tidak akan bicara apapun."

"Kau memata-mataiku."

"Hah! Dari semua hal, yang mampu kau tangkap hanya hal itu saja? Aku kecewa padamu, Kai. Aku tidak suka jika kau melakukan hal seperti ini, diam-diam. Di belakangku," tekannya. "Kau temanku, kenapa kau harus berbohong? Kenapa kau tidak mengatakannya saja...? Bahwa kau memang menyukai Troy? Apa ada yang salah dari itu, Kaikala?"

"Apa ada yang salah dari itu, Rachel?" Ulangku tak percaya. "Aku... aku hanya tidak ingin melukaimu."

"Memangnya kenapa jika kau suka dengannya? Bagaimana hal itu bisa menyakitiku sedalam fakta bahwa kau menyukainya di belakangku? Kau harusnya jujur dan aku tak marah! Kau tahu itu! Aku hanya marah karena kau tidak jujur padaku!"

"Sekarang kau sudah tahu kan? Kumohon jangan seperti ini," aku berusaha mendekatinya tapi Rachel menarik diri seolah aku ini virus mematikan.

"Kau yang jangan seperti ini, Kai. Kau temanku. Tapi sepertinya kau punya banyak rahasia yang dapat kau bagi dengan Troy. Bukan aku," ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Aku menggigit bibir bawahku dengan getir. Tahan, tahan. Tahan, Kaikala. Just. Shut. Up. Your. Mouth.

Tapi aku tidak bisa. Dan akhirnya, meledaklah kekesalan terpendamku selama 5 menit terakhir ini.

"Jangan munafik, Rachel. Kau juga akan melakukan hal yang sama jika hal itu terjadi padamu. Kau bahkan terang-terangan menyukai Troy. Kau takkan menolak jika ia mengantarmu pulang meskipun itu berarti kau menelantarkan temanmu."

Did I Die?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang