HOW XII

215 43 6
                                    

If you can't fix my heart, don't broke it.

•••

Ketika aku dan sahabat-sahabatku terpisah, saat itu aku sendiri bersama Troy. Aku yang ingin memisahkan diriku dari mereka. Aku seperti Laine tapi versi yang tidak sendirian. Keras kepala dan selalu merasa benar.

Sementara sahabat-sahabatku, selalu berusaha meraihku. Yang tak pernah mau ditolong oleh mereka.

"Yeah, be...nar se...ka...li. a...ku su... ka san...dal ka...pas," ujar Ara dengan sepelan mungkin.

Sudah seminggu kami menampungnya di kamar kecil kami -yang sungguh-sungguh menjadi kecil begitu ia datang-. Dan selama seminggu, aku melatihnya untuk bicara lebih pelan. Selama seminggu pula, Laine tak bicara padaku. Ia bahkan tampak jengkel dengan aktifitas rutin kami ini.

"Bagus. Tapi cobalah untuk tidak mengatakannya secara terputus-putus seperti itu. Biasa saja, tapi perlahan," jelasku.

Yoara akan membuka mulutnya saat Laine keluar dari kamar mandi, dengan rambut basah dan hanya melemparkan tatapan dingin kepada kami berdua.

"Laine," panggilnya.

"Jangan bicara padaku. Lakukan saja latihan kalian yang tidak berguna itu," sindirnya.

"Seharusnya, setelah satu minggu, bukan hal itu yang kau katakan kepada kami," kataku.

"Oh ya? Lalu apa?" Ia menaikan sebelah alisnya. "'Wow! Hebat sekali! Aku juga ingin bergabung!' Begitu?"

"Akuakankeluar," perkataan cepat Yoara membuat kami menoleh padanya lalu tiba-tiba saja ia berjalan keluar dari kamar kami.

"Bagus. Sia-sia bukan?"

"Laine," panggilku. "Ini pasti hanya sementara saja. Kumohon jangan marah padaku, aku memang bersalah dan terburu-buru. Tapi jangan diamkan aku seperti ini. Kau temanku."

"Yah, tentu saja. Aku temanmu, ia temanmu, Caroline temanmu, semua temanmu. Lalu apa bedanya jika kau kehilangan aku?"

"Jelas itu berbeda," aku berdiri dan menggeleng, "kau benar soal aku. Memang seperti itulah aku. Dan karena itu, aku tidak mau kehilangan dirimu seperti aku kehilangan teman-temanku sebelumnya. Kumohon, Laine...."

Ia menatapku sejenak dan memalingkan pandangannya, "Aku tidak tahu," katanya. Dan setelah itu, ia kembali masuk ke kamar mandi, mengakhiri pembicaraan ini.

Sementara Laine masuk ke kamar mandi -yang aku yakin hanya untuk menghindariku saja-, aku menyusul Ara keluar dari kamar kami menuju gedung utama.

Gedung utama masih sepi sepagi ini. Tidak banyak aktifitas murid di sini, apalagi jika tidak ada kelas Mr. Zayek. Tapi saat ini, aku sedang membutuhkan ketenangan. Dan satu-satunya ketenangan yang bisa kudapatkan di sini -entah bagaimana caranya- hanya dari kenangan.

Kenangan yang selalu kuingat dan pernah kurasakan.

Tanpa sadar, kakiku melangkah pergi sejauh yang kubisa dari semua masalahku. Ia membawaku ke atap gedung ini, menikmati pemandangan yang begitu indah seperti yang pernah ditunjukkan oleh Zach. Tapi kali ini, aku sendirian dan ini pagi hari.

Atau setidaknya itulah yang kupikirkan hingga seseorang menepuk pundakku.

Aku menoleh, "Zach?"

Ia mengangguk, "Kenapa? Tak menyangka aku akan ada di sini?"

Aku menghela nafas dan menatap ke depan, "Entahlah, rasanya aku sudah mulai terbiasa. Kau sering muncul dan menghilang begitu saja, jadi harusnya aku tidak perlu terkejut."

Did I Die?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang