HOW V

416 74 25
                                    

Kita takkan pernah menjadi abadi karena yang tersisa hanya tragedi.

Kita takkan pernah menjadi abadi karena yang tersisa hanya tragedi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh sial!

"Rachel! Sebaiknya aku pulang sekarang," kataku gelisah seraya melirik jam tanganku. "Rachel!"

"Iya, Kai. Kenapa terburu-buru? Jovan bahkan belum datang. Bukankah kita harus mengerjakan tugasnya hari ini?"

Aku menggeleng, "Aku harus pulang sekarang. Dan biar aku saja yang mengerjakan tugas kita," kataku seraya cepat-cepat melepas celemek yang kugunakan.

Aku langsung menarik tasku dan berlari keluar dari restoran itu. Sebenarnya aku punya tugas kelompok bersama Rachel dan Jovan, tapi sudah dua jam aku menunggu -hingga akhirnya memutuskan untuk membantu Rachel di dapur-, tapi ia tetap saja tidak datang.

Rachel bilang, seperti itulah sifat teman-teman Troy. Mereka tidak ingin ambil bagian sulit. Ia takkan datang, tapi aku hanya ingin memberikannya kesempatan karena semua orang berhak untuk itu.

Aku tidak ingin mendengar bahwa aku tak mengajaknya sama sekali. Setidaknya aku sudah mengajaknya mengerjakan tugas, dan jika ia tidak muncul, maka itu bukan salahku karena aku sudah mengajaknya.

Tapi sekarang, ini akan jadi salahku. Karena ini sudah hampir jam 6 dan Ayahku akan pulang sebentar lagi. Aku bisa mati jika belum sampai di rumah saat ia pulang.

Aku berlari sekuat tenaga untuk sampai di rumah lebih cepat. Tapi aku terlambat. Karena mobil Ayah, sudah ada di rumah. Dan ia berada beberapa meter di hadapanku sekarang. Aku mengusap wajahku, frustasi. Tamatlah aku.

"Darimana saja kau?"

"Aku mengerjakan tugas bersama teman-temanku."

"Oh ya? Sampai sesore ini? Memangnya sepulang sekolah tadi kau kemana? Apa kau pergi dengan temanmu dari siang?" Cercanya.

"Aku... aku menunggu temanku. Tapi--"

"Alasan," tandasnya. "Aku tanya sekali lagi, kemana saja kau?"

"Dari restoran temanku."

"Kau bersenang-senang di sana?" Sinisnya. "Kau itu perempuan! Mau jadi apa jika pulang selarut ini? Lihat Ibumu, kau sama saja sepertinya!"

"Tidak, Ayah, aku--"

"Jangan membantah! Apa kau sudah belajar untuk jadi pembangkang sekarang?!"

Aku menelan salivaku, tubuhku rasanya sudah gemetaran karena takut.

"Sini kau! Biar kuberi kau pelajaran!" Ayah berjalan cepat ke arahku dan menarikku dengan kasar.

Aku tak berbicara apapun, terakhir kali aku bersuara, ia nyaris menenggelamkan aku ke kolam berenang.

"Kau itu anakku! Harusnya kau menurut padaku!" Ia mengambil rotan di atas meja dan melayangkan rotan itu pada tubuhku.

Aku menggeleng, menahan tangis dan jeritan.

Did I Die?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang