Perjalanan Lavrionne-1

6 0 0
                                    

Perjalanan menuju Lavrionne memakan waktu yang cukup lama. Saat hari mulai sore, caravan yang mereka tumpangi mulai memperlambat lajunya dan mereka bersiap untuk mendirikan tenda. Mereka membuat api unggun yang besar dan menyiapkan sup untuk makan malam hari itu.

"Kau harus makan yang banyak Vic, kalian juga jangan malu-malu, kalau mau tambah masih ada."

"Tentu bibi..." kata Vic sambil menyodorkan mangkuknya.

Makan malam kali itu terasa menyenangkan bagi Sylvia. Setelah sekian lama, ia dapat makan bersama dengan banyak orang tanpa perlu memikirkan masalah yang akan terjadi. Dia bisa melihat Victorica yang saat ini masih makan, Lydia yang sibuk membersihkan mangkuk-mangkuk bekas dan Rei yang sedang melakukan kegiatan kesukaannya, bersantai sambil memandang ke langit. Ia jadi teringat kembali akan masa lalunya di Desa Arshen bersama dengan Ellin, Nate dan adiknya Cynthia. Sylvia masih berharap mereka semua baik-baik saja dan dapat berkumpul kembali bersama.

"Terima kasih Paman.... terima kasih bibi...."

"Sampai juga Vic. Jaga kesehatanmu..."

"Iya paman dan bibi juga..."

Setelah 4 hari mengikuti gerombolan karavan pedagang, mereka harus melalui hutan yang cukup lebat. Menurut petunjuk dari Lydia bila melewati hutan ini mereka bisa menghemat waktu karena tidak harus memutar terlebih dahulu. Menurut perhitungan Lydia mereka dapat sampai ke desa terdekat saat menjelang sore sehingga mereka bisa menginap di desa tersebut.

Perhitungan Lydia memang tepat namun 4 orang itu sedikit terlambat dan hari sudah mulai gelap ketika sampai di desa itu, mereka memutuskan untuk segera mencari penginapan terlebih dahulu. Keterlambatan itu juga membuat mereka tidak sempat pergi untuk membeli bahan masakan karena para pedagang sudah tidak berjualan lagi, akhirnya mereka memilih untuk makan malam di tempat makan terdekat.

Setelah selesai menyantap makan malam mereka kembali ke penginapan. Kali ini mereka memesan 2 kamar, satu untuk Rei dan satu lagi untuk Lydia, Vic dan Sylvia.

"Rei, kau tidak apa-apa sendiri?"

"Aku baik-baik saja, Sylvia... lebih baik kau segeralah istirahat."

Setelah berpisah dengan Rei, ketiga perempuan itu masuk ke dalam kamar mereka. Ini pertama kalinya untuk Sylvia tidur bersama dengan perempuan lain selain dengan adiknya dan ia sangat menantikannya.

Yah, terkadang semua memang tidak seperti yang diharapkan, Sylvia tidak dapat mengeluh akan hal itu, ia tahu bahwa perjalanan kali ini memang cukup melelahkan. Tapi tetap saja ia ingin mengenal lebih dekat Lydia dan Victorica.

"Maaf Sylvia, kamu jadi harus membantuku."

"Tidak apa-apa, aku rasa Vic memang sangat kelelahan setelah melewati hutan."

Sylvia dan Lydia saat ini sedang merapihkan perlengkapan milik Vic yang berserakan di lantai kamar mereka.

"Maaf ya, Vic memang selalu seperti ini."

Setelah merapihkan perlengkapan milik Vic, Lydia mulai bersiap untuk tidur, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Secara tak sengaja Sylvia melihat tubuh Lydia yang penuh dengan bekas luka. Bekas luka itu selama ini tertutup oleh pakaian Lydia. Sylvia ingin sekali bertanya mengenai hal tersebut, namun ia takut akan mengubah suasana menjadi canggung, iapun mengurunkan niatnya.

"Sebaiknya kita juga cepat tidur, besok pasti akan menjadi hari yang melelahkan."

Sambil mengiyakan perkataan Lydia, Sylvia mulai tidur di sebelah Victorica yang sudah tertidur dengan lelahnya dari tadi. Ia mulai menutup matanya, namum pikirannya masih memikirkan mengenai bekas luka yang ada di tubuh Lydia. Seperti apa masa lalunya? Itulah yang dipikirkan Sylvia saat ini.

--------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------

Kamar penginapan itu tergolong luas untuk satu orang. Rei menghampiri jendela kamarnya yang terbuka, Ia memandang ke luar jendela, lebih tepatnya ia melihat langit malam yang begitu cerah. Saat itu bulan dalam kondisi penuh dan terlihat sangat jelas, begitu pula dengan bintang-bintang yang bertaburan di langit.

Rei membuka perban yang ada di tangan kirinya. Simbol di tangan kirinya menyala dengan warna merah gelap. Ia mencoba menggerakan jari tangan kirinya. Sepertinya ada masalah pada tangan kirinya.

"Apa mungkin ini karena aku menahan senjata itu dengan tanganku?".

Jari-jari tangan dan pergelangan tangan kirinya sulit untuk digerakan dan terasa sedikit lebih dingin daripada biasanya. Rei kemudian kembali membalut tangan kirinya dan membaringkan dirinya di atas kasur.

"Sebaiknya aku rahasiakan ini, mereka pasti akan sangat khawatir bila tahu tentang ini.". pemuda itu memikirkan kembali tentang ingatannya yang hilang dan perkataan terakhir sang peramal padanya. Pada akhirnya, ia memejamkan matanya dan tertidur. Hari itu sangat melelahkan baginya karena harus menempuh hutan yang sangat lebat. Ia berharap dapat sedikit mengingat masa lalunya.

-------------------------------------------------------------- ----------------------------------------------------------------

Padang rumput seharusnya berwana hijau, ya memang semua padang rumput berwarna hijau itulah yang selalu kita yakini namun di tempat yang lain terdapat padang rumput yang berwana merah, warna merah yang sama seperti darah.

"Dia bukan seorang manusia!"

"Dia adalah monster.!"

"Misi kita bukan untuk mengalahkannya, cukup mengambil pedang miliknya. Semuanya serang dia secara bersamaan!"

Kelima prajurit itu maju mendekatinya, dua dari mereka adalah pengguna tombak sehingga mereka dapat menyerang monster yang berwujud itu dari jauh. Monster itu cukup lihai, dia menghindari serangan tombak kedua orang tersebut dengan menunduk kebawah dan dengan cepat ia memotong kaki kedua prajurit tersebut.

Tanpa memperdulikan kedua temannya yang baru saja menjadi lumpuh, ketiga yang lain melesat maju. Menyabekan pedangnya dengan membabi buta berharap dapat melukai monster itu sedikit saja. Namun ketiga orang tersebut bukanlah tandingan monster tersebut. monster tersebut meyabetkan pedangnya pada ketiga orang tersebut. orang pertama dan kedua berhasil menghindarinya dengan meloncat ke belakang namun orang ketiga tidak seberuntung itu. Ia terkena pedang itu di bagian dadanya dan menjadi akhir dari hidupnya.

"278."

Kedua orang yang berhasil selamat dari maut bergerak mundur menjauhi monster itu. Monster itu tidak mengejar mereka. Ia malah kembali ke arah kedua prajurit yang sudah tidak dapat berjalan lagi.

"279....280"

Melihat seluruh temannya telah dibantai, kedua prajurit itu melarikan diri. Sayangnya nasip berkata lain, meskipun sang monster tidak mengejarnya tapi kedua prajurit itu tewas tertimpa bongkahan es yang ukurannya 2x lebih besar dari badan mereka.

Seorang gadis dengan rambut putih dan pakaian serba putih muncul dari balik kabut dingin hasil dari bongkahan es yang ia ciptakan.

"Mereka mengirim monster untuk mengalahkan monster. Sungguh menarik."

Valtear Project: The Main StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang