Indonesiaku - Damaghita X-3

107 5 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas menuju gerbang sekolah. Aku dengan sepatu putih ku berjalan santai meninggalkan sekolah. Dengan tas merah di punggung, aku berjalan menikmati indahnya sore di Depok, kota kelahiran dan kota tempat aku di besarkan.
Pukul empat aku sampai di rumah. “Anak mama sudah pulang?” teriak mama yang terlihat sibuk membawa loyang-loyang kue keluar dari oven. “Udah ma! Aku mandi dulu ya,” aku meninggalkan mama yang masih sibuk membuat kue.
“Ma, pamit dulu ya. Mau latihan bulutangkis,” pamit aku kepada mama. Aku pun menuju tempat latihan yang tidak jauh letaknya dari rumah. Hanya satu kali naik angkot dan sisanya aku jogging sekaligus untuk pemanasan sebelum bermain.
Sesampainya di tempat latihan, aku disapa oleh teman senior ku yang menjuarai berbagai macam perlombaan di dunia, “Hai, Linda! Apa kabar?” “Halo, Maura! Kabar ku baik,” sahutku. Oh iya aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Linda Malita. Aku biasa dipanggil Linda atau Lin. Umurku baru 15 tahun di bulan Mei kemarin. Sekarang  aku siswa dari salah satu SMA swasta di Depok.
Setelah aku bersiap-siap, aku pun mulai melakukan pemanasan bersama teman-teman dan pelatih. Lalu kami semua dikumpulkan untuk pengarah dan informasi lainnya.
“Selamat sore anak-anak!” sapa pelatih dengan semangat.
“Selamat sore coach!” kami pun menjawabnya dengan semangat.
“Tiga bulan lagi, yaitu di bulan September, akan ada pertandingan di Taiwan. Dan tim kita terpilih untuk mewakili Indonesia pada pertandingan tersebut,” jelas pelatih.
Kita semua bertepuk tangan dengan riang.
“Akan tetapi tidak semua dari kalian bisa mewakili Indonesia di pertandingan tersebut. Maka dari itu, minggu depan akan diadakan seleksi untuk memilih tiga perwakilan  putra dan tiga perwakilan putri untuk diberangkatkan ke Taiwan. Mungkin cukup sekian dari saya. Teruslah berlatih untuk seleksi minggu depan dan tetap semangat!” sambung pelatih.
Tepuk tangan pun bergemuruh. Kami pun langsung berpencar untuk mulai berlatih. Mendengar pengumuman tadi, aku menjadi semangat dan ingin sekali mengambil kesempatan itu. Permainan ku memang biasa tapi aku akan berusaha untuk mendapatkan posisi itu. Aku pun mengambil raketku dan melanjutkan latihan.
Jam tangan menunjukan pukul 7 malam. Aku merapihkan barang-barang ku lalu beranjak pulang ke rumah. Saat aku ingin keluar dari pintu utama, aku bertemu dengan Siena. “Heh Lin, lu nggak usah sok-sok mau ikut tanding di Taiwan,” ucap Siena tiba-tiba. Siena adalah teman bulutangkis yang pada saat itu kami mendaftar secara bersamaan. Saat ujian bulutangkis pun pelatih mengatakan bahwa kami memiliki kemampuan yang imbang.
“Maaf tapi itu bukan urusan kamu,” jawabku.
Mendengar jawabanku, Siena langsung meninggalkan ku dengan tatapan sinisnya. Aku memang tidak berambisius untuk ini tapi ini merupakan kesempatan besar yang seharusnya bisa aku perjuangkan.
Aku mengabaikan tatapannya lalu kembali lanjut pulang. Sudah biasa aku pulang malam. Ibu pun mengizinkan aku untuk pulang jam tujuh malam karena jalanan masih ramai oleh para pedagang.
Sampai di rumah aku disambut mama yang sedang menyiapkan makan malam. Aku, mama, dan papa pun makan malam bersama sambil bercerita hal-hal yang menyenangkan selama satu hari itu.
***
Menjelang hari-hari menuju seleksi, setiap pulang aku terus mendatangi tempat biasa aku latihan untuk berlatih setidaknya 1 jam. Sesekali aku bertemu Siena yang juga berlatih bersama pelatih pribadi yang disewanya jika tidak ada jadwal latihan. Setiap kali kita bertemu, tak tanggung-tanggung dia melihat ku sinis dan mengucapkan kata-kata yang tidak enak untuk didengarkan. Aku mencoba untuk tutup kuping dan tebal muka karena jika aku meladeninya pasti itu akan mempengaruhi motivasi dan semangatku untuk meraih kesempatan itu.
***
Hari seleksi pun tiba, seleksi diselenggarakan hari Minggu pagi di tempat biasa kami berlatih. Aku menyiapkan semua perlengkapan ku lalu bersiap untuk berangkat. Tak lupa aku meminta doa dari mama dan papa sebelum aku berangkat.
Tempat biasa aku berlatih pun ramai oleh siswa-siswa yang akan ikut seleksi. Seleksinya pun dimulai pukul 7 pagi. Sistem seleksinya pun satu persatu bertanding lalu dinilai oleh para pelatih.
Aku mendapat giliran pada pertandingan ke 14. Ternyata lawan tanding ku adalah Siena. Aku mulai menenangkan diri supaya tidak teralih karena yang aku lawan adalah Siena. Dengan percaya diri Siena memasuki lapangan dengan senyum liciknya. Ia menatap ku dengan sinis seperti biasa tapi aku berusaha untuk terbiasa and cuek tentang hal tersebut.
Pertandingan pun di mulai. Kami bertanding selama 20 menit. Selama pertandingan, Siena terus berusaha untuk smash dan lainnya. Aku tetap fokus untuk bertanding secara fair dan ikhlas.
Pertandingan pun selesai dan Siena pun memenangkannya. Siena terlihat sangat senang sudah bisa memenangkan pertandingan tersebut. Aku berusaha untuk lapang dada dengan tidak lolosnya aku untuk mewakili Indonesia dalam pertandingan di Taiwan.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung pulang tanpa menunggu pengumuman yang rencananya akan diumumkan sore hari nanti. Aku tetap tersenyum walau dari tadi Siena menatap ku dengan penuh kemenangan. Sampai di rumah pun ibuku menenangkan ku dan membuatku tetap semangat untuk terus berlatih bulutangkis.
***
Ternyata pelatih mengundur pengumumannya menjadi Rabu hari ini. Kami semua dikumpulkan untuk mendengarkan pengumumannya.
“Berikut ini adalah siswa yang akan mewakili Indonesia untuk pertandingan di Taiwan. Bagi nama yang dipanggil diharapkan untuk maju ke depan,” pelatih pun membuka pengumumannya.
Siena dengan tatapan seperti biasa melihat aku yang terduduk diantara teman-temanku yang lainnya.
“Untuk yang putra selamat kepada Aldi Syahputra, Bimo Dirgantara, dan Rayhan Maliki. Dan untuk yang putri selamat kepada...” pengumuman pertama sudah diumumkan.
Siena mulai menatapku dengan senyum liciknya saat pelatih ingin mengumumkan perwakilan putri.
“... Anindya Tasya, Maura Yulika, dan Dinda Putri. Selamat kepada para siswa yang menjadi perwakilan Indonesia di pertandingan nanti. Selamat berlatih dan tetap semangat!” sambung pelatih.
Semua pun bertepuk tangan mendengar pengumannya. Siena pun dengan mulut ternganga, kaget, dengan hasil keputusan yang tidak menyebutkan namanya. Ia langsung berlari meninggalkan kerumuman orang yang sedang menyelamati para calon peserta pertandingan yang terpilih. Sedangkan aku sedikit terkaget atas hasil keputusan yang tidak menyebutkan nama Siena.
***
Dua minggu lagi para perwakilan akan diberangkatkan. Hari demi hari permainan mereka pun semakin bagus. Terlihat ada perubahan pesat dari awal latihan sampai hari ini. Tapi untuk latihan kali ini aku tidak melihat Maura. Seharusnya dia latihan hari ini. Kebetulan jadwal latihan reguler dan yang akan tanding bersamaan jadi semua bisa melihat proses latihan mereka.
Tiba-tiba kami semua dikumpulkan sebelum latihan rutin. Terlihat jelas ada hal penting yang ingin disampaikan oleh pelatih. Kami semua cepat-cepat berkumpul di tengah lapangan. Akhirnya pada latihan kali ini aku bertemu Siena kembali.
“Selamat sore anak-anak,” sapa pelatih.
“Selamat sore pak,” sahut kami.
“Ada kabar baik dan juga buruk yang akan saya sampaikan perihal pertandingan yang akan kita ikuti dua minggu lagi,” ucap pelatih.
Kami semua menjadi penasaran. Tidak biasanya ada pengumuman mendadak seperti ini. Siena yang duduk di ujung pun seperti biasa memperhatikan ku dengan sinis.
“Kabar baiknya teman kita, Maura Yulika, diundang untuk bertanding membawa nama Indonesia di pertandingan bulutangkis tunggal putri sedunia. Akan tetapi kabar buruknya pertandingan itu akan dilaksanakan bertepatan dengan pertandingan di Taiwan. Sehingga harus ada yang menggantikan posisi Maura pada pertandingan di Taiwan. Dan kami pun sudah menentukan orangnya,” lanjut pelatih dengan wajah serius.
Semua pun memiliki respon yang berbeda-beda. Ada bertepuk tangan, ada yang bersorak-sorai, ada yang diam saja, dan ada juga yang kaget. Siena pun langsung tersenyum cerah sambil melihat ke arahku.
“Dan orang yang terpilih untuk menggantikan Maura adalah Linda Malita. Selamat Linda. Semoga kamu dapat berprestasi di pertandingan nanti,” ucap pelatih sambil memberikan ucapan selamat kepada ku.
Aku terkejut mendengar nama ku disebut. Aku tidak mengerti kenapa aku yang terpilih untuk menggantikan posisi Maura karena jelas-jelas Siena lah yang memenangkan pertandingan saat seleksi saat itu. Aku lihat muka Siena memerah dan sangat marah. Ia langsung pergi begitu saja meninggalkan lapangan. Tapi di sisi lain aku bangga akhirnya aku bisa mendapatkan kesempatan emas itu.
Aku pun berlatih dengan keras hari demi hari. Ku atur jadwal keseharianku sedemikian rupa agar aku bisa berlatih dan beristirahat dengan cukup. Tak lupa aku dan mama mulai mengurus semua surat perizinan dan dokumen-dokumen lainnya. Sejak saat namaku disebut, Siena selalu memojokkan ku setiap kali latihan dan selalu marah kepadaku. Tapi aku terus berusaha untuk mengabaikannnya supaya aku bisa fokus untuk satu tujuan dan membawa harum nama Indonesia saat aku kembali nanti.
***
Perkembanganku cukup pesat selama satu minggu ini. Pola makan dan cara hidup yang lebih sehat membuat aku semakin baik hari demi hari. Setiap hari aku langsung olahraga lari satu kilometer dan lanjut berlatih bulutangkis.
Dan hari ini adalah H-3 sebelum keberangkatan ku ke Taiwan. Perasaanku gugup tapi aku senang karena sebentar lagi impian itu akan terwujud. Aku berlari terus sembari berpikir tentang kualitas latihanku selama ini dan juga mendengarkan musik menggunakan earphone supaya aku merasa tenang. Aku terus berpikir bagaimana perjuanganku selama kurang dari dua minggu ini untuk mempersiapkan diri ke pertandingan. Dan sore ini aku berusaha untuk menempuh jarak dua kilometer.
Tanpa aku sadari saat berlari tiba-tiba ada motor yang menyerempet tubuh dengan keras dan membuat aku terguling di antara pepohonan besar yang letaknya di tanah miring. Aku terguling sampai aku menabrak pohon kayu yang besar. Kakiku terhantam batang kayu pohon tersebut dan aku berusaha menjadikan kakiku penahan di kayu itu agar aku tidak lanjut terguling lagi sampai bawah.
Aku menjerit minta tolong. Aku menjerit kesakitan karena ku rasa kakiku ada yang luka. Warga pun panik dan langsung membantuku. Mereka menggotongku dan langsung membawaku ke rumah sakit terdekat. Keadaanku setengah sadar karena sudah terlalu panik dan lelah. Yang ku lihat saat itu hanya darah di kaki  kanan.
***
Aku terbangun dari pingsan. Aku terbaring di kamar rumah sakit. Di sekitarku ada mama, papa, dan pelatihku. “Ehh anak mama sudah bangun,” senyum mama mencairkan suasana yang terlihat tegang dan sedih. Terlihat jelas mama baru saja menangis. Mama mengusap keningku. Aku mencoba untuk duduk agar lebih nyaman, tapi mama langsung menahanku untuk melakukannya. Aku meronta. Ku paksakan lagi untuk duduk. Aku terkaget karena ku lihat kaki kananku terbungkus oleh perban putih yang cukup tebal. Aku pun menangis, “Ma... Kaki Linda kenapa?”. Mama memeluk ku dan menjelaskannya, “Waktu kamu ditemukan tadi, kaki kamu sudah luka parah dan ada keretakan di tulang kaki mu. Dan karena itu kamu harus menjelani operasi kecil tadi”.
Aku menangis bukan karena kakiku yang mengalami cedera, tapi aku menangis karena kesempatan dan impian ku selama ini musnah begitu saja. Membawa nama Indonesia ke dunia telah hilang sudah. Aku menatap pelatihku dengan rasa ingin meminta maaf.
“ Linda, saya tau kamu sangat ingin berangkat ke Taiwan. Tapi sekarang kita harus fokus dengan kesehatanmu. Kamu harus memulihkan kakimu dulu sehingga kamu bisa kembali bergabung untuk latihan,” jelas pelatih.
“La... la... lalu siapa yang akan menggantikan posisi saya?” bertanyalah aku dengan harapan penuh.
“Siena lah yang akan menggantikan kamu, Linda,” ucap pelatih.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku berusaha untuk menerima semua keadaan yang ada. Mungkin ini bukan saatnya bagiku untuk membawa nama Indonesia. Yang aku tahu, sekarang aku harus fokus untuk kesembuhanku dulu.
***
Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi hari yang penting bagiku. Sejak pagi tadi, ku tonton pertandingan tersebut melalui layar televisi di kamar inap. Siena dan Maura lolos ke babak selanjutnya. Air mataku menetes perlahan dengan senyum yang terulas di bibir.
Setelah lama bertanding, akhirnya Maura mendapat mendali perunggu. Dan yang tak ku sangka adalah Siena. Dia mendapat mendali emas di pertandingan itu. Ia berhasil mengharumkan nama Indonesia. Ia berhasil membawa mimpiku juga untuk membawa Indonesia bangga walau aku tak ada disana untuk bertanding.
Mama duduk disampingku, “Selamat sayang. Mama bangga sama kamu,” ucap mama yang membuat aku bingung. “Kenapa mama ngomong gitu? Mama seharusnya ngomong kayak gitu ke Siena sama Maura,” jawab aku dengan bingung. Mama menyerahkan koran kepadaku.
“Selamat sayang... Kamu memenangkan lomba puisi Nasional dan kamu akan diikutsertakan untuk  ikut dalam pertandingan internasional mewakili Indonesia,” ucap mama dengan senyum bahagia yang terlihat jelas di wajahnya.
“Siapa yang mengirim ini? Darimana mama tau kalo...” ucapanku langsung dipotong oleh mama. “Jelas mama tau sayang... Selama kamu di rumah sakit, kamu selalu buat puisi diem-diem. Kamu curahkan semuanya ke dalam puisi-puisi kamu. Mama waktu itu nggak sengaja nemuin buku puisi kamu pas kamu ketiduran. Terus mama baca satu-satu. Dan mama baru inget kalo bakal ada lomba puisi nasional untuk mencari perwakilan Indonesia di lomba puisi tingkat internasional. Mama rasa kamu pantes untuk itu. Jadi mama kirim salah satu puisi kamu. Sayang... Ini bukti bahwa ada banyak cara untuk mewujudkan satu impian. Sekali lagi selamat ya sayang,” kata mama sambil memelukku.
Ya beginilah keseharianku. Selama aku berada di rumah sakit, aku mencoba untuk membuat puisi dalam sebuah buku. Semua perasaan yang aku tutupi kucurahkan dalam puisi itu. Aku memang tidak bisa merangkai kata, tapi yang aku lakukan hanyalah menulis kata-kata yang dibaliknya menceritakan sebuah kisah. Dan inilah puisi itu, puisi yang membuka pintu pengalaman baru bagiku.
Disini...
Aku duduk terpaku
Memandang hamparan luas dari balik jendela
Betapa ingin ku berada disana
Mengangkat tanggadan meraih kemenangan
Bangganya aku menjadi bagian dari keagunganmu,
Indonesia...

Walau kaki tak banyak melangkah
Tapi semangatku pantang menyerah
Ingin ku ukir sejarah,
Yang bisa kau kenang...
Ingin ku lukis senyum ,
Yang bisa menambah indah wajahmu,
Indonesia...

Jayalah Indonesia ku
Terimalah karyaku...
Sambutlah tekadku
Semuanya adalah untukmu

Sekarang aku tahu, banyak cara yang bisa aku tempuh untuk meraih cita-citaku. Banyak jalan yang bisa aku pilih untuk mencapai tujuan itu. Kakiku memang cedera, tapi masih ada bagian lain dari tubuhku yang bisa aku manfaatkan agar aku bisa mengharumkan nama Indonesia. Aku percaya setiap orang punya caranya masing-masing, tinggal bagaimana mereka berusaha untuk mencari peluang itu.

CIVITAS - Cinta Tanah Air ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang