Aku, Kamu, dan Dia - Lia X-6

59 2 0
                                    

Pagi itu, kulihat sang dewi malam terbenam. Lalu, digantikan oleh sapaan hangat mentari. Angin membelai lembut wajahku, kicauan burung nan merdu seakan menyorakkan semangat bagiku untuk memulai hari yang baru. Pulau Bungin. Di pulau yang terletak di daerah Nusa Tenggara Timur ini lah, aku mencoba untuk mencarinya. Kakiku mulai melangkah, menelusuri setiap jalan yang ku jumpai. Begitu aku masuk ke dalam pemukiman, hal yang pertama kali kutemukan  hanyalah dinding-dinding rumah. Semuanya rapat, hanya menyisakan jalanan setapak. Ku tengadahkan kepalaku. Yang terlihat hanyalah genting yang saling bersinggungan satu dengan yang lainnya, tak ada celah. Aku tak melihat sinar mentari. Kau tahu? Ini terasa seperti berjalan seorang diri di dalam sebuah labirin. Dengan hanya bermodalkan keberanian dan niatku untuk mencarinya, ku lanjutkan melusuri jalan itu.  Ini masih awal, tidak mungkin aku berhenti lalu berbalik arah. Indera penciumanku menangkap aroma lezat ikan. Kulihat di ujung rumah berdinding hijau itu, nampak ibu-ibu sedang kesana-kemari. Perkiraanku, dari sanalah aroma ikan itu tercium.
Matahari beranjak naik, aku masih belum menemukannya. Melihat kegusaran yang ku alami, seorang ibu berusia sekitar 40 tahunan lantas menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi padaku. Ku ceritakan semua, maksud dan tujuanku datang ke pulau ini. Senyum merekah terukir di wajahnya. Dengan senang hati, ia bersedia membantuku. Lalu, ia segera mengajakku berkeliling di pulau itu. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya ia bercerita tentang asal muasal pulau ini. Tiba-tiba aku mendengar suara kambing yang mengembik, lantas aku menoleh ke sumber suara. Betapa kagetnya aku melihat sekawanan kambing yang sedang memakan kertas. Ibu itu tertawa, ia berkata bahwa itu sudah menjadi hal yang lumrah. Bagaimana tidak, pulau ini berdiri di atas timbunan batu karang yang sudah mati. Tentu saja tidak ada yang namanya rumput.
Kami pun melanjutkan penelusuran. Ibu itu membawaku ke dermaga. Kulihat bentangan laut biru jernih nan indah. Saat itu airnya tenang, ku lihat beberapa anak yang tertawa riang  bermain bersama, tanpa ponsel. Ponsel canggih zaman sekarang yang membawa dampak positif sekaligus dampak negatif. Cobalah tengok sejenak, di kota-kota besar permainan tradisional mulai punah, tergantikan oleh permainan berbasis daring. Di ujung pulau bagian timur, terlihat bapak-bapak sedang bahu-membahu membangun sebuah rumah. Ibu itu bercerita bahwa memang sudah tradisi di pulau ini bahwa setiap ada sepasang insan yang hendak menikah, mereka harus membangun rumah dengan membuat lahan baru dari batu karang yang telah mati. Maka tak heran jika dari tahun ke tahun Pulau Bungin bertambah luas dan semakin padat. Hari mulai gelap, ibu itu mengajakku untuk menginap di rumahnya. Dengan senang hati, aku menerima tawarannya.
Hari pun silih berganti. Ini lah hari yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Hari Kemerdekaan Indonesia. Orang-orang sibuk berlalu lalang kesana-kemari, mempersiapkan acara yang menurutku unik yaitu upacara pengibaran bendera terapung. Upacara dimulai sekitar pukul 10.30 WITA, di bawah terik sinar matahari tetapi tak menyurutkan semangat mereka. Mereka sangat antusias, upacara ini dihadari semua kalangan. Ini tentang aku, kamu, dan dia. Dia lah sang ibu pertiwi. Di pulau ini  aku menemukannya. Aku menemukannya tidak secara langsung, tetapi dari setiap hal disekelilingku yang mungkin tak kita sadari. Cinta tanah air. Rasa itulah yang harus dipupuk sedini mungkin. Tak bisa dipungkiri, sadar atau tidak sadar budaya barat mulai merambat ke bumi pertiwi kita. Cobalah tengok sejenak ditengah hiruk pikuk dunia dengan teknologi yang semakin maju, sikap individualisme merajalela, tawuran antarpelajar bahkan antarwarga dll. Sungguh sangat ironi memang, ketika masyarakat Indonesia lebih mencintai budaya negara lain dibandingkan budayanya sendiri. Justru warga dari negara lain lah yang yang tertarik dengan budaya kita. Kita secara de facto dan de jure sudah dinyatakan merdeka, tetapi jangan sampai itu hanya menjadi sejarah. Kita harus melanjutkan perjuangan dan meraih cita-cita bangsa ini. Jangan biarkan sampan berlayar sendiri di tengah samudra. Tetapi kita harus bersatu, bagaikan kapal yang siap mengarungi samudra, tetap kokoh walau diterjang ombak dan badai. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus manfaatkan waktu yang kita miliki dengan hal-hal yang positif. Pulau Bungin hanyalah satu dari seribu pulau di Indonesia yang dimana kita bisa menemukan rasa itu. Sekali lagi, ini tentang aku, kamu, dan dia. Kita Bersama membangun Indonesia yang lebih maju.
Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72

CIVITAS - Cinta Tanah Air ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang