Rumi kecil.

19 1 0
                                    

"Rumi sejak kapan kamu ada disini?"tanyaku, enggan rasanya melepas pelukan.

"Sejak pagi"

"Loh ko? Bukannya kamu ada dicafe?"

Rumi mengelak, menggelengkan kepalanya kekiri dan kekanan.

"Kemarin, aku sempat menghubungi Thomas untuk merencanakan semua ini, dan dia setuju" jelasnya.

"Aaaaah kamu" ucapku, sambil mengencangkan pelukanku. Namun seketika aku merasakan mual yang amat sangat. Sehingga ku lepaskan ia, lalu segera berlari ke kamar mandi.

Rumi mengikutiku, ia mengkhawatirkan ku. Bahkan ia mengikutiku hingga kedalam. Mengelus-elus punggungku, dan terus bertanya.

"Kamu kenapa sayang?"

"Kamu baik-baik saja kan?"

"Kamu mau ku panggilkan dokter?"

Sementara aku hanya terdiam lemas, aku masih belum sanggup untuk menjawab semua pertanyaan darinya. Rumi memelukku. Lalu memapahku menuju sofa.

"Sayang, aku mau teh hangat" pintaku. Aku terus saja merasa mual, padahal Rumi sedang memberikan ku pertolongan pertama dengan minyak angin.

"Tunggu sebentar yah sayang, mungkin kamu kecapean dan masuk angin" ucapnya, seraya pergi untuk membuatkan ku teh.

Aku masih saja duduk terkulai lemas sambil memegang ujung kanan keningku, dan memijatnya secara halus.

Rumi datang dengan secangkir teh ditangannya.

"Minum dulu sayang"

Ia membantuku untuk meminum teh tersebut.

"Kamu ko ga bilang sih kalau lagi sakit? Maafin aku ya, udah biarin kamu pergi sendirian tanpa aku, kan kalau bareng-bareng mungkin kamu sehat-sehat aja" keluhnya. Ia sungguh menyesalinya.

"Nggak ko sayang, aku gapapa, cuma mungkin aku kelelahan aja. Udah jangan sedih gitu ah, mendingan sekarang kita tidur yu. Aku capek banget soalnya" bujuku, mencoba mengalihkan pembicaraan supaya Rumi tidak terlalu merasa menyesal. Dan ia pun menyetujuinya, ia membereskan terlebih dahulu tempat tidur yang tadi dipenuhi bunga mawar merah. Lalu membantuku berjalan menuju tempat tidur.

"Hati-hati sayang" pintanya.

***

Sekarang masihlah tengah malam, ketika ku tiba-tiba terbangun.

"Sayang" ucapku.

Namun Rumi tidak menjawab, ia masih saja tertidur sambil memelukku.

Tiba-tiba saja hasrat ku untuk berbelanja malam hari muncul, mungkin ini karena kebiasaan kami ketika dipantai, selalu berbelanja malam hari supaya tidak kepanasan.

Aku menatap wajah Rumi dalam-dalam, tak sampai hati jika aku harus membangunkannya. Tapi, aku sungguh sangat ingin berbelanja saat ini juga.

"Rumi.." ucapku lagi sambil mengelus pipinya, dan voila! Aku berhasil membangunkannya.

"Hmm, kenapa sayang? Kamu mual lagi?" tanyanya dalam kondisi mata yang masih mengantuk.

"Nggak ko, aku mau belanja. Kamu mau ikut?" tanyaku ragu. Aku ingin sekali ditemani Rumi, tapi aku juga merasa kasihan dengannya yang masih mengantuk.

"Hah? Malam-malam? Tapi, kamu kan lagi sakit sayang?" tiba-tiba saja ia bersemangat dalam berkata-kata padahal beberapa menit kebelakang ia baru terbangun dari tidurnya.

"Tapi kan, aku mau belanja, yayaya?" pintaku sambil memasang wajah memohon.

"Kebiasaan, kamu selalu saja begini jika dipantai. Kalau kamu dalam kondisi sehat sih fine-fine aja, tapikan"

"Please.." ku potong pembicaraannya.

"Baiklah, tapi pakai baju hangat ya meskipun dipantai. Ok?"

Aku hanya mengangguk kegirangan, lalu segera bersiap untuk pergi berbelanja.

***


"Sayang pulang yu" ajak ku, setelah belanja dan makan dimalam hari.

"Ya iyalah kita pulang sayang, masa kamu masih mau keluyuran udah hampir jam 5 pagi ini"

Aku tidak berani menjawabnya, karena benar saja, begitu lama kami menghabiskan waktu untuk belanja, sehingga tanpa sadar fajar akan segera terbit.

Tiba-tiba saja aku merasakan mual yang sangat hebat dalam perjalanan menuju penginapan. Sehingga Rumi mengajakku untuk bergegas, lalu ia menyuruh kepada pelayan dipenginapan untuk memanggilkan seorang dokter ke kamar kami.

Mungkin hanya sekitar setengah jam kami menunggu, dokter itupun tiba. Lalu ia segera memeriksa keadaan ku.

"Yang dirasakannya mual-mual saja mbak?"

"Iya dok"

"Terakhir kali mbak haid kapan ya?"

"2 bulan yang lalu dok"

"Sudah dapat dipastikan, selamat ya mbak mas, kalian akan menjadi orangtua"

"Apa dok?" ucap Rumi dan aku serempak.

"Iya, mbak Raisa sedang mengandung anaknya mas Rumi. Kalau mbak dan mas nya tidak percaya, boleh dibuktikan saat ini juga, kebetulan saya bawa alatnya"

Dokter mengeluarkan alat itu, lalu menyuruhku untuk segera kekamar mandi untuk memastikannya.

Akupun pergi mengikuti anjuran dokter, dibantu Rumi tentunya. Rumi tidak ikut masuk ke kamar mandi, mungkin karena ia merasa tidak enak jika meninggalkan dokter itu seorang diri.

Setelah selesai, akupun keluar. Lalu memberikan alat itu kepada dokter.

"Positif mbak"

"Serius dok?" tanya Rumi, tiba-tiba ia memegang tanganku erat.

"Iya mas, selamat ya"

"Ya Tuhan, terimakasih atas anugerah yang telah engkau berikan kepada kami dan terimakasih juga karena engkau telah mengabulkan permintaan ku pagi tadi" ucap Rumi. Aku teringat akan do'anya tadi pagi. Ternyata Tuhan mengabulkannya, Tuhan meng-iya-kan do'anya. Terimakasih Tuhan, karena engkau memberikan ku berjuta kebahagiaan.

We Are Just...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang