Bab 8 - Talk

129K 13.8K 922
                                    

Dari sekian banyak hal yang Antariksa nantikan dalam hidupnya, seperti menunggu kelulusan, menunggu hal baik terjadi, ataupun hal-hal yang ia inginkan tapi Ia tidak pernah sekalipun menantikan Ratih kembali. Ia begitu muak atau lebih tepatnya mulai membenci sosok perempuan yang anggun itu.

Sekesal-kesalnya ia pada Aurora, ia lebih kesal,-bahkan marah hanya karena ia melihat Ratih. Perempuan itu datang ke rumahnya entah dengan tujuan apa. Masih berdiri di depan pagar rumahnya yang berbentuk besi-besi vertikal. Melalui cela-cela gerbang itu, Antariksa menatap Ratih.

"Apa?" Antariksa bertanya dengan nada dingin. Tidak sedikitpun berniat membukakan gerbang.

Ratih menggigit bibir bawahnya. Malam ini kelihatan mendung, tidak ada bintang dan angin cukup membuatnya dingin.

"Gue mau ngomong,"

"Yaudah,"

"Lo biarin gue ngomong kayak gini? Tanpa ngasih kesempatan buat gue bisa lihat lo?" Intonasi suara Ratih mulai meninggi, ia menghela napas.

"Gue muak,"

"Apa sih, Anta?" Ratih menatapnya sepersekian detik, "Apa yang lo maksud muak? Muak liat muka gue?"

Antariksa menatapnya dengan bibir tertutup, lalu laki-laki itu menggelengkan kepalanya.

"Bukan,"

"Terus?"

"Gak papa, gue cuma muak makan micin itu doang,"

"Gak lucu!" perempuan berbaju biru dengan celana jeans itu menatap Antariksa, "Let's talk,"

Laki-laki dengan kaos putih dan celana training itu membalas tatapan Ratih, lalu melipat kedua tangannya.

"Sekarang kita lagi ngapain? Nyuci?"

"Anta!" Ratih mulai kesal, perubahan sikap Antariksa begitu pekat hingga ia tidak bisa merasakan Antariksa yang dulu. "Bisa serius gak sih?"

"Emang gue ngakak?" balas Antariksa, "lucu lo!"

Mata Ratih tertutup untuk menstabilkan emosinya, ia mengangkat tangannya menyusuri rambutnya dengan jari-jarinya. "Gue kesini mau bicara baik-baik, Anta, gue mau jelasin apa yang sebenarnya lo gak ngerti,"

"Gue gak butuh, Rat, gue gak butuh," Antariksa menatapnya dengan serius, "Bagi gue, apa yang terjadi antara gue sama lo udah lalu gitu aja,"

"Tapi lo benci gue,"

"Gue gak benci," Bahu Antariksa yang tadinya menegang mulai melemas, "gue cuma marah,"

"Anta, please,"

Merasa kasihan dengan wajah Ratih, Antariksa akhirnya membukakan gerbang, tapi seolah memang tidak mau mendengarkan, laki-laki itu tidak mengizinkannya masuk. Ratih mengerti.

"Sebelum lo bicara, gue cuma mau bilang, lupain. Apapun yang ingin lo bilang, gue minta lupain." Antariksa menatap wajah di depannya.

"Lo suka sama Rora?"

"Bukan urusan lo,"

"Anta,"

Refleks, Antariksa mengangkat tangan kanannya dan menutup matanya sejenak, "Rora bukan urusan lo,"

Ratih mengerti, kesalahannya pada laki-laki itu begitu besar dan Ratih tidak ingin menambah kekesalan laki-laki itu padanya. Berbicara dengan Antariksa saja ia sudah bersyukur, setidaknya Antariksa mau bicara dengannya.

"Jangan buat gue benci sama lo," Antariksa terdiam sebentar, "waktu lo pergi, gue udah menghapus nama lo dari orang-orang yang ada dalam kehidup gue,"

ProtectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang