Bab 42 - Menahan

100K 15.3K 4.1K
                                    

Tepat gerakan push up ke 15 Antariksa berdiri dari lapangan. Pemanasan telah berakhir, maka anak laki-laki diperbolehkan bermain bola basket. Laki-laki itu membersihkan pasir yang ada pada kedua tangannya sambil menyipitkan matanya akibat matahari yang menyengat siang hari ini.

Sosok yang dari tadi ia cari belum kelihatan padahal jam pelajaran olahraga akan berakhir setengah jam lagi. Ia mengusap wajahnya, berjalan ke arah guru olahraga yang sibuk memarahi murid beberapa murid laki-laki karena kemarin bermain bola di saat hujan-hujanan.

"Saya udah boleh ke kelas, Pak?"

Guru olahraga itu menoleh, hanya mengangguk sekilas tanda mengiyakan pertanyaan Antariksa. Kemudian, Antariksa berjalan ke arah koridor, menaiki tangga dan membuka pintu kelas.

Suasananya hening, tanpa suara. Dan disana tepat di barisan meja ketiga di depan meja Antariksa, gadis itu tertidur. Matanya terpejam rapat, wajahnya polos seperti biasa dan gerakan badan teratur.

Benar-benar nyenyak.

Tidak bisa Antariksa pungkiri, tepat setelah ia memutuskan Aurora, hari itu pula ia tidak bisa melepaskan pikirannya dari Aurora. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha melupakan, maka gadis itu kembali memenuhi isi kepalanya.

Tidak ada yang ia ingat kecuali wangi sampo strawberi yang masih hangat dalam kepalanya. Ketika bagaimana gadis itu menangis memeluknya kencang tanpa Antariksa balas sedikitpun.

Laki-laki itu berjalan mendekat, mengambil botol minum yang ada di atas mejanya sambil memperhatikan Aurora. Ia membuka botol itu dengan gerakan lambat, meminumnya dengan sekali tenggakan tanpa melepas tatapannya.

Setelah meletakkan kembali botol minum itu, Antariksa menyimpan kedua tangannya di dalam saku. Masih berdiri, menatap lekat wajah itu. Ia kemudian mengacak rambut Aurora dengan pelan, lalu tersenyum kecil seraya mengambil dan melipat jaketnya lalu menjadikan bantalan untuk kepala gadis itu.

Tidak peduli bagaimana kondisi hubungan ia dan Aurora. Bahwa kenyataannya, Antariksa tetap peduli padanya.

"Bahkan ketika lihat wajah lo aja, lo bisa buat gue jatuh dan cinta disaat yang bersamaan."

***

Tepat pulang sekolah, setelah kelas mulai sepi dan Antariksa masih diam di tempat dengan posisi bersedekat dada. Buku-bukunya masih berserakan di atas meja dan ia tidak peduli akan hal itu saat ini. Laki-laki itu menarik napasnya dan menghembuskannya dengan kasar.

"Kenapa?" Dimas menoleh, sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Capek." Jawab Antariksa singkat.

Hal yang sebenarnya membuatnya capek adalah pemandangan di depannya. Punggung kecil di depannya yang membuatnya lelah, entah lelah karena apa. Yang jelas, sedari tadi, ia tatap dengan tatapan penuh makna.

"Ra, kening lo kenapa?" suara Dina, teman semeja Aurora terdengar dari belakang.

Diam-diam ia ikut menyimak, pertanyaan yang sebenarnya sudah ingin ia tanyakan dari tadi namun ia tahan. Selain ia tahu ia tidak mampu menatap Aurora, gadis itu juga terlihat marah padanya. Dan Antariksa mengerti akan hal itu.

"Ehm, kepeleset di kamar mandi karena dipaksa mandi sama Mama," jawabnya pelan.

"Lo gak pulang?" Dimas kembali bertanya, sudah berdiri dan menyampirkan tali tasnya di bahu.

"Duluan aja,"

Dimas mengangguk, meninggalkan Antariksa. Laki-laki itu menarik napasnya dan duduk tegak kemudian memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Setelah selesai, ia masih menunduk, menyampirkan tali tas di bahu kanannya hingga kepalanya mendongak dan menabrak bola mata hitam legam di depannya.

ProtectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang