Azka menahan napas sebentar, berusaha menarik Aurora agar tidak memasuki ruang-inap Antariksa. Perempuan itu hampir menangis, matanya memerah dan tangannya begitu dingin. Untunglah rumah sakit sepi di tengah malam ini.
"Anta ngamuk tadi, katanya gak boleh ada seorang pun yang masuk! Mama sama Papanya aja dia suruh pulang!" geram Azka menarik tangan Aurora dan menyentaknya.
Aurora menatapnya sepersekian detik, lalu beralih pada Radit yang sedang bersandar di kursi sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku jaketnya. Lalu disebelah Radit ada Auriga yang tidur.
Tanpa aba-aba, ia membuka pintu melihat Azka yang ikutan melihat kedua temannya. Gadis itu sudah gemetaran sejak tadi, sejak Azka mengatakan bahwa Antariksa kecelakaan.
Untuk beberapa detik, ruangan dingin itu lenggang. Menyisakan keheningan diantara mereka bertiga, Anta, Azka dan Aurora.
Laki-laki yang terbaring di atas tempat tidur itu menoleh dengan lemah, ia memejamkan matanya sejenak. Dahinya di balut perban, ada luka-luka kecil di wajahnya dan beberapa lebam di daerah tulang pipinya.
"Keluar,"
Hanya itu ucapan Antariksa, ia membuang pandangannya dan menutup matanya sejenak. "Gue bilang keluar!" bentaknya pelan, terdengar dingin dan menusuk hati Aurora.
Azka tersadar beberapa saat kemudian lalu menarik tangan Aurora. "Ayo keluar, Anta kalau sakit paling gak suka dilihatin, nanti dia marah lagi," bisik laki-laki itu pelan.
Aurora menepisnya, menggelengkan kepalanya seolah berkata, Rora mau di sini nemenin Anta...
"Gue bilang keluar! Tuli lo pada?!" Bentak Antariksa sekali lagi.
"Ra, ayo," Azka mulai memaksa menarik dan lagi-lagi Aurora menepisnya.
Azka melihatnya pasrah, mengangkat kedua tangannya ke arah Antariksa seolah menyerah kemudian berbalik dan menutup pintu.
Aurora menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya masih bergetar bahkan sampai sekarang, saat Antariksa sudah di hadapannya. Laki-laki yang berada di atas tempat tidur itu memijat kepalanya, wajahnya pucat.
"Sekali lagi, sebelum gue nyeret lo keluar dari ruangan ini," Antariksa terdiam sebentar, mulai ragu namun tetap membentak, "KE-LU-AR!"
Seberapa keras bentakan Antariksa saat ini tidak mampu mengalahkan keras kepala Aurora. Gadis itu terlihat ingin menangis, Antariksa melirik tangannya yang gemetaran.
Perempuan itu berjalan ke sudut ruangan, duduk dan menenggelamkan kepalanya di lekukan kakinya . Kedua tangannya melingkar di kaki. Tidak peduli jikalau Antariksa kembali mengusirnya dengan bentakan.
Anta masih marah?
Mulai luluh melihat gadis itu terlihat ketakutan, Antariksa mengatupkan bibirnya sambil mendesah pelan karena rasa pusing di kepalanya.
"Jangan duduk di lantai," ketusnya, mulai membiarkan Aurora untuk bersamanya, "nanti masuk angin."
Aurora tidak menjawab. Gadis cerewet itu diam seribu bahasa. Antariksa tidak bisa menebak bagaimana ekspresinya sekarang karena wajahnya terhalang kedua lulutnya.
Keheningan mungkin bisa saja menguasai ruangan seluas kamar Antariksa, namun tidak dengan hati keduanya.
Lima menit tidak juga melihat gadis itu mendongak, Antariksa turun dari tempat tidurnya. Kepalanya benar-benar sakit luar biasa karena mencium kerasnya aspal. Ia memegang tiang impus dan berjalan pelan ke sudut ruangan dengan perlahan.
Tangannya menarik tangan Aurora yang melingkar di lututnya, awalnya gadis itu enggan melepasnya namun tenaganya tidak sebanding dengan Antariksa yang kodisinya bahkan sedang sakit. Lalu tangannya menyelip di kedua lekukan lututnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Protect
Ficção Adolescente[Selesai] [Tolong jangan plagiat] "Kenapa lo terus-terusan nyusahin sih?" Perempuan berponi dengan rambut dicepol itu menyengir. "Kita kan tetangga, senyum dong Anta!" [Beberapa chapter di privat] Copyrightⓒ2017 by theblackrosee_ #2 in teen ficti...