BAB 3

1.2K 93 5
                                    

Suara gaduh memenuhi seisi kelas ketika guru ekonomi yang sedang mengajar menyuruh murid-murid nya untuk mengungkapkan pendapat masing-masing tentang pemukiman baru yang akan dibangun di Cikarang, Bekasi. Ya, itu adalah Meikarta.

Reyner sedang mencari di internet lewat ponsel nya tentang refrensi lain tentang Meikarta tersebut ketika Dewa menyenggol lengan nya. "Mau nelfon Meikarta nya ga? Tapi lo yang ngomong."

"Ngapain, gila?" Jawab laki-laki itu.

"Ya nanya-nanya aja," ucap Dewa. "Kali aja nyaman sama mba yang jawab telfon nya."

Reyner langsung menyeringai tidak jelas. "Boleh deh!"

Setelah tersambung dengan nomor yang Dewa sebut sebagai Maeikarta itu, beberapa detik kemudian sambungan di angkat.

"Halo, ini Meikarta?" Ujar Reyner dengan suara yang cukup membuat perhatian seluruh orang yang ada di kelas kepada laki-laki itu. Beruntung, guru tadi sedang izin ke ruang guru.

"Iya benar, ada yang bisa saya bantu?" Jawab suara wanita dengan nada formal di sebrang sana yang sengaja sudah di setting oleh Dewa menjadi mode loudspeaker sehingga terdengar ke penjuru kelas.

"WOI ITU BENERAN?!" Suasana kelas makin tidak beraturan, semua nya menaruh perhatian pada Reyner, menunggu laki-laki itu untuk mengeluarkan suara. Ada yang cekikikan melihat tingkah laku Reyner, ada juga yang masih tidak percaya.

"Et deh ada-ada aja lo berdua," ucap Rifqi sambil menggeleng-gelengkan kepala nya pusing. Terlalu lelah melihat tingkah konyol Dewa dan Reyner.

"Jadi sebenernya Meikarta itu apa ya, Mba?" Selang beberapa detik setelah itu, guru yang mengajar pun masuk membuat Dewa harus mematikan ponsel nya dan percakapan itu harus berakhir sampai disitu saja.

"Eh, kocak banget lo Rey!" Teriak Vrizky--perempuan yang paling tidak bisa diam di kelas, yang juga kebetulan duduk di depan Dewa dan Reyner.

"Iya makasih, gue tau gue ganteng," balas Reyner kelewat pede, yang langsung membuat sorakan keluar dari mulut anak-anak di kelas.

----

Missed call yang masuk dari ponsel Adena membuat perempuan itu segera mematikan ponsel nya. "Tia, boleh pinjem hape lo ga? Buat dengerin lagu."

Tia mengangguk seraya mengeluarkan ponsel berwarna putih yang ada di kantong seragam nya. "Hape lo mati ya?"

Adena mengangguk, tangan nya bergerak mencolokan kabel earphone ke ponsel tersebut. Ia membuka apilikasi spotify yang ada, memutar lagu yang tidak ada di playlist milik Tia. Memang, genre musik Adena dengan Tia jauh berbeda. Adena lebih suka musik ber-genre rock, pop punk, alternative, dan kebanyakan musik yang di dengarkan Adena tidak berasal dari zaman nya sekarang, kebanyakan adalah tahun 90an. Sedangkan Tia lebih suka kepada genre EDM yang lagi nge-hits zaman ini.

Lagu dari Green Day yang berjudul Mis berputar di telinga perempuan itu hingga ia menutup mata dengan kedua tangan yang ia lipat di atas meja untuk menjadi bantal.

"Nih orang kerjaan nya kalo ga tidur, ya makan." Adena samar mendengar suara tersebut, itu lah suara yang sedikit mirip laki-laki milik Riska.

"Ayo ah ke kantin aja, sekalian beliin Dena makan, kayak nya tadi pagi dia belum sarapan," timpal perempuan bernama Athia atau yang lebih akrab di panggil Tia itu.

Beberapa detik setelah itu, Adena bisa merasa Riska dan Tia sudah pergi ke kantin karena tadi meja nya sedikit tergeser karena pergerakan Tia yang ingin keluar.

Adena menambah volume menjadi yang paling tinggi. Perempuan itu sedang bergulat dengan batin nya sendiri tentang dua hal dalam hidup nya.

-----

"Dena, nyapu nya yang bener!" Perempuan yang nama nya di sebut itu membalas dengan gerutuan kesal. Tia, selalu saja berisik setiap kali ia sedang menyapu, padahal menurut nya cara menyapu nya sudah benar.

"Liatin aja Ti kita mah," ujar Riska santai, sambil duduk di atas meja.

"Lo berdua liatin gue doang? Terus guna nya gue suruh lo tunggu disini apa woi!" Adena membalikan tubuh nya untuk melihat Riska yang duduk di meja paling depan, dan Tia yang berdiri menyender di pintu kelas.

"Dih? Ogah gue mah, orang lo yang piket hari ini. Masih untung gue temenin," balas Riska setengah sewot.

Tia mengangguk menyetujui. Beberapa detik kemudian setelah Adena sampai di depan nya bersama sampah yang ada di dekat sapu ijuk, perempuan itu menyeletuk. "Kemarin, temen kakak gue ulang tahun. Lucu banget deh, mereka temenan dari SMA sampai semua nya udah pada nikah."

Riska mulai tertarik, sedangkan Adena malah menghentikan apa yang ia lakukan tadi hanya untuk memperhatikan wajah Riska dan Tia yang berbinar. "Iya? Terus gimana?"

"Iya terus pas respsepsi gitu kan mereka ada empat orang sama yang nikah ini, abis itu di panggil deh sama MC buat naik ke atas panggung terus mereka ceritain masa-masa temenan nya dulu," ujar Tia dengan wajah yang berbinar-binar, seakan mengharapkan kalau hal tersebut juga akan terjadi pada persahabatan nya. "Gue pengen deh kita kayak gitu nanti."

"Eh iya!!! Pasti lucu banget, pertama lo Ti yang nikah, kedua gue, ketiga nya Dena!"

Bibir Adena terangkat ke atas sedikit, tapi untuk alasan yang berbeda. "Everyone leave."

"Hah?" Riska langsung syok.

"Apa maksud lo, De?"

Adena mengangkat kedua bahu nya, ikut bersender pada sisi kiri pintu kelas. "Everyone leave, nothing last forever."

"So, are we?" Tanya Tia dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak pernah sekali pun ia merasa kalau persahabatan nya dengan Adena ini tidak akan bertahan lama.

"Ya yaudah, gue anggep lo temen sekarang tapi gue juga mikir kalo semua nya akan berubah nanti."

"What the hell are you talking about?" Ujar Riska, ia sudah turun dari posisi nya dan berdiri di samping Tia.

Meskipun kadang Riska yang paling cuek disini, tapi ia juga menganggap Adena sebagai sahabat nya. Menurut nya, ia dan Tia sudah terlalu banyak memberi tahu masalah masing-masing. Dan kenyataan nya begitu sakit, setelah hampir dua tahun ternyata ia dan Tia tidak di anggap.

"Ah, I get this." Setelah menyelesaikan kalimat nya, Riska langsung menatap Adena sambil tersenyum, memperlihatkan kalau ia muak kepada perempuan itu sebelum menarik Tia yang sebentar lagi akan menangis.

Sepuluh menit setelah nya, Adena keluar tanpa melanjutkan membuang sampah yang ia sapu tadi. Persetan dengan piket hari ini.

Perempuan itu berjalan sendirian di koridor yang sudah sepi, kecuali lapangan di sebelah kanan nya yang terisi banyak anak ekskul basket dan cheers. Ia memijit pangkal hidung nya sendiri, merasa pusing dengan apa yang barusan terjadi.

Adena memang tidak pernah mengharapkan lebih pada suatu ikatan yang sedang ia jalani hari ini. Contoh nya pertemanan, ia tidak akan mengharapkan lebih tentang hal tersebut. Ia hanya berpikir kalau saat ini ia bermain dengan Riska dan Tia, tidak menjamin kalau sepuluh tahun kemudian akan tetap seperti itu.

Sebab mengapa Adena selalu tertutup kepada orang lain termasuk sahabat nya sendiri adalah prinsip nya, everyone leave in the end.

Lalu, apakah ia pantas mendapatkan teman dengan prinsip seperti itu?

"Eh, eh, eh!" Sebenarnya Adena sangat malas menoleh, tapi suara yang ada di belakang tubuh nya itu membuat nya merasa terganggu.

Adena tidak kenal siapa laki-laki yang memanggil nya ini. "Lo Adena ya?"

Adena mengangguk, berniat kembali memutar tubuh tapi terhenti ketika melihat satu orang laki-laki yang keluar dari kelas 11 IPS 1 dengan kertas HVS bertuliskan "SAYA REYNER MENGAKU KALAH BERMAIN LUDO DARI DEWA, RIFQI, DAN TRISTAN. DUA KALI BERTURUT-TURUT!" Yang ter-tempel di dada laki-laki itu.

Ingin rasa nya Adena tertawa, tapi ia tidak bisa.

***


FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang