BAB 15

702 59 3
                                    

Selama hidupnya, Reyner tidak pernah suka melihat warna pink ada di sekitarnya. Apalagi warna pink yang selalu melekat pada gadis itu. Perpaduan yang sempurna untuk membuat Reyner muak melihatnya.

Dari kecil, Reyner tidak dibesarkan oleh barang-barang Mama yang berwarna pink. Karena Mama juga tidak suka warna pink.

"Rey, kamu kenapa si?" Jasmine merengek, mengeluarkan suara manja yang di telinga Reyner malah terdengar seperti tikus kejepit pintu.

Wajah Jasmine cemberut, kedua tangannya menarik bebas ujung kaos Reyner sebelum laki-laki itu menepis pelan tangannya.

"Loh, aku emang kenapa?" Reyner menjawab sambil mengerutkan dahinya, sengaja membuat Jasmine pusing sendiri menghadapinya. "Aku masih sehat kok, ga demam, ga flu, bagian tubuh ku juga masih lengkap."

Gadis yang usianya satu tahun di bawah Reyner itu meniup poninya hingga berterbangan beberapa helai. Jasmine memang cantik, tapi ada sesuatu yang membuat Reyner tidak sreg kepada gadis itu. Sekarang misalnya. Jasmine terlalu manja untuk dijadikan pacar, menurut Reyner.

"Kamu punya pacar ya?"

"Iya, aku punya. Dari dulu kamu aku kasih tau, tapi ga percaya," jawab Reyner se-yakin mungkin.

"Abisan kamu bohong! Coba sekarang lihat chat kamu sama pacar kamu!"

Reyner tertawa, sambil memotek batang tanaman yang tidak ia ketahui namanya, tanaman hijau yang dirawat oleh Mama. "Pacar aku ga pakai line atau whatsapp."

"Dih?! Mana ada manusia jaman sekarang yang ga punya apilikasi itu?!"

"Ada. Pacar ku."

"Bohong!"

Tristan J: emak gue ultah

Tristan J: lo pada disuruh dateng ke rmh

Tristan J: sans b banyak makanan

Dewantara: otw

Adnan Genta: gass

Beberapa pesan menumpuk itu langsung Reynee buka, kemudian menyerahkannya ke depan wajah Jasmine.

"Aku mau main, kata Mama kamu disuruh masuk dulu. Makan bareng katanya," ucap Reyner, ia kemudian mengambil kunci mobil di saku celana dan ngacir ke bagasi tanpa mau repot-repot menunggu respon Jasmine.

Reyner sempat meng-klakson mobilnya sebelum benar-benar menghilang, yang dibalas Jasmine dengan wajah cemberut.

Jasmine itu tetangganya, yang sejak sekolah menengah pertama berani menembak Reyner secara langsung--dan juga mengejar. Laki-laki itu awalnya muak, sangat muak. Apalagi sikap Jasmine yang manja, dan kekanak-kanakan membuat Reyner tidak suka. Sekitar setahun yang lalu, Reyner penah sekali membentak Jasmine dan perempuan itu langsung menangis terisak dan mengatakan kalau Reynee jahat.

Dari situ, Reyner tidak pernah lagi membentak Jasmine atau memarahi gadis itu. Ia harus berpegang teguh dengan prinsipnya; tidak boleh menyakiti hati perempuan, siapapun.

Cara Jasmine bicara, jauh berbeda dengan cara Adena bicara. Cara Jasmine berpakaian, sangat jauh dengan Adena. Cara Jasmine tersenyum, juga sangat jauh dengan milik Adena.

Duh, kenapa ia jadi memikirkan gadis itu? Reyner memukul kepalanya berkali-kali karena bayangan Adena terus bermain di dalam otaknya. Aneh memang, kalau di pikir-pikir Jasmine itu tidak ada kurangnya, hanya sikap manja--dan itu mungkin hanya menurut Reyner. Tapi kenapa Jasmine tidak pernah membuat jantungnya berdebar lebih cepat ketimbang yang Adena lakukan?

Cinta itu aneh. Aneh.

-----

Setelah acara makan bersama keluarga Tristan selesai. Kelima laki-laki itu duduk di gubuk yang ada di halaman belakang rumah Tristan. Suara gitar menjadi salah satu pengisi keramaian gubuk tersebut.

"Main gitar nya yang bener apa Qi!" Omel Dewa sambil memukul pelan dari bagian gitar berwarna hitam tersebut. Mengintrupsi permainan Rifqi.

Rifqi memberenggut, "lo pikir lo bener nyanyi nya?!"

Tristan yang duduk di belakang kedua manusia tersebut kemudian tertawa sekencang-kencangnya. Sangat menyetujui apa yang dikatakan oleh Rifqi.

"Tau loh, suara mirip ikan lele aja belagu," timpal Genta.

"Anjir," umpat Reyner. "Ikan lele mana ada suaranya bego!"

Rifqi lantas ikut tertawa, melupakan amarah kecilnya terhadap Dewa.

"Astaga, gue punya temen ga jelas semua." Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dada.

"Nyadar kampret."

"Ngomong-ngomong kampret, gue jadi ngebayangin kalo adek lo ngomong kampret, Tan," ucap Dewa sambil terkekeh malu.

Sedangkan ke-empat orang yang lain, memberi tatapan yang sama; muak. "Sampe mampus juga ga bakal gue restuin lo sama Tania, Wa." Sang kakak berkata dengan sangat dramatis, meskipun ia dan Tania sering bertengkar, tapi ia masih waras untuk tidak menjodohkan Dewa dengan adiknya.

"Gausah lo kasih restu juga ga akan mempan, Tan. Toh Tania nya juga ga akan mau," jawab Reyner. Laki-laki yang mengenakan kaos abu-abu itu beberapa detik kemudian mendapat pukulan di bahu yang dilakukan pleh Dewa.

"Aku padamu, Rey." Persamaan antara Genta dan Reyner ternyata ada banyak. Yang pertama kedua laki-laki itu tidak suka bermain basket, tidak suka dengan buah alpukat, tidak suka warna pink. Dan yang paling bisa menyatukan mereka adalah, sama-sama senang meledek Dewa.

"Et deh tapi Tania cakep bener Tan ga bohong," ucap Dewa. Tania yang dimaksud dalam topik ini adalah adik satu-satunya yang dimiliki oleh Tristan. Usianya hanya beda setahun. Matanya sipit sama seperti milik Tristan, rambutnya ikal di bagian bawah, kulitnya putih, senyumnya anggun, dan pendiam. Pokoknya, sangat jauh dari ukuran wajah Dewa kalo kata Rifqi.

Lantas, mereka semua terbahak.

-----

Waktu menunjukan pukul delapan malam ketika Reyner menjatuhkan tubuhnya di tengah-tengah kasur setelah sempat membuka jendela kamarnya agar ada udara yang masuk. Awan diluar sana sudah redup, sama dengan sesuatu di dalam hati Reyner.

Entah itu apa, ia tidak tahu. Laki-laki itu menghela napas berat, kemudian mengambil dompet berbahan jeans yang hampir sama dengan miliknya.

Saat pulang dari rumah Tristan, ia memang menumpangi Genta dan Rifqi yang tidak membawa kendaraan. Ketiga laki-laki itu kompak membicarakan sesuatu topik yang tidak jelas. Mengalir seperti air tanpa bisa dihenti kecuali saat mereka sampai ke rumah Genta, lalu tidak lama kemudian di rumah Rifqi.

Setelahnya, tidak ada suara lagi.

Ia menemukan dompet ini di dashboard miliknya yang jelas pemiliknya karena Genta yang duduk di jok tersebut. Reyner sudah memberi tahu, dan Genta akan mengambil benda tersebut besok sore.

Ia tahu ini merupakan tindakan tidak terpuji, membuka privasi orang lain. Tapi, ia juga manusia yang kadang mempunyai tingkat ingin tahu yang tinggi. Reyner membuka dompet itu hingga membentuk persegi panjang vertikal. Ada beberapa kartu berbahasa Thailand disana, dan beberapa lembar pecahan uang yang tentu tidak Reyner ambil.

Namun, ada sesuatu di balik tumpukan kartu tersebut. Sebuah foto berukuran 2R yang menampilkan dua sosok perempuan dan laki-laki. Reyner tidak yakin jelas kapan gambar tersebut diambil, mungkin dua tahun yang lalu? Atau tiga? Atau empat? Entah lah.

Yang jelas, disana terdapat sosok Genta dan perempuan yang mampu membuat Reyner merasakan sesuatu di dadanya. Adena, tersenyum menampakan seluruh gigi putihnya. Senyuman yang tidak pernah Reyner lihat selama ia berhubungan dengan perempuan tersebut.

Ah, ia tidak menyesal membuka jendela kamarnya agar ada pasukan oksigen yang masih bisa ia hirup.

FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang