BAB 17

684 58 0
                                    

Athia bukan orang yang mudah mengalah, dalam hal apapun. Mungkin sifat itu terbawa karena ia anak satu-satunya dari keluarga kaya raya. Setiap keinginannya harua terpenuhi, dan tidak ada yang bisa menganggunya karena ia tidak punya sudara lain.

Perempuan itu kini sedang duduk di sofa berwarna broken white yang ada di dalam kamar sambil bertopang dagu. Meskipun terlahir dari keluarga kaya, hubungan kedua orang tuanya tidak berjalan mulus. Mama adalah sosok yang sangat terbuka kepada Athia. Mama adalah wanita paling berharga yang Athia miliki.

Sedangkan Papa, sosok yang kaku. Bahkan kepada Athia, Papa kadang hanya berdiam diri. Keretakan hubungan orang tuanya dimulai sejak ia berumur sepuluh tahun. Kala itu, Athia belum tahu sebab mengapa orang tuanya selalu bertengkar.

Baru setelah umur Athia menginjak lima belas tahun, Mama berani mengungkapkan semuanya. Ia, tidak pernah benar-benar mencintai Papa. Ia mencintai teman SMA-nya dulu yang harus menikah akibat perjodohan orang tua. Ya, Mama mencintai Ayah Adena, bukan Papa.

Athia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin mengalah, tapi rasanya sangat mustahil mengingat ini adalah permasalahan hati Mama, bukan hatinya. Athia bersumpah, kalau itu hanya permasalahan perasaannya, ia akan mengalah untuk Adena.

Ia memang tidak tahu permasalahan keluarga Adena apa, tapi ia sangat yakin kalau Adena juga tersakiti. Bagaimana tidak, Athia sebenarnya tahu Mama sering jalan bersama Ayah Adena disaat keduanya masih mempunyai pasangan resmi masing-masing.

Kemarin, Mama bercerita kalau urusan cerai kedua orang tuanya sedang diurus. Papa mungkin sudah lelah dengan sikap istrinya, maka dari itu secara sukarela akhirnya menuruti apa yang istrinya mau sejak dulu. Dalam hati, Athia sungguh kasihan dengan Papa. Tapi, perempuan itu lagi-lagi tidak bisa berbuat apa-apa.

Mau sekeras apapun Athia menolak keputusan kedua orang tuanya, tidak akan berpengaruh apapun. Pasti Papa akan marah, mengatakan kalau Athia masih terlalu kecil untuk mengerti betapa luas arti makna cinta yang sesungguhnya.

-----

"Kamu udah tahu, Nak?" Eca ikut meringsut naik ke atas kasur, duduk di sebelah anaknya yang menatap lurus ke depan tanpa ekspreksi.

"Ya, itu lah hidup," lanjut Eca. "Pernikahan ini memang cuma Mama yang ingin, Ayah kamu engga, engga pernah sama sekali. Dia cuma gamau ngecewain orang tuanya dan orang tua Mama." Wanita itu berujar sendu, sambil mengelus rambut Adena lembut.

Eca kemudian tersenyum. "Ayah kamu tuh... Mama ga bisa deskripsiin. Dia baik, bahkan kayak nya dia pernah cinta sama Mama, tapi apa daya ketika cinta pertamanya kembali."

"Ma, kalo dia baik dia ga akan ngecewain Mama kayak gini," jawab Adena sambil menghela napas. "I hate him so much."

"Kamu ga bisa sepenuhnya salahin Ayah, De. Ayah ga sepenuhnya salah, dia terlalu cinta sama Yura, wanita yang sangat perfect. Ga salah kalo Ayah milih Yura ketimbang Mama."

"You're good enough, Mom." Tubuh Adena kini berbalik, menghadap Eca yang hampir mengeluarkan air mata.

Eca tertawa, menutupi aura sedih yang terpancar dari sorot matanya--meskipun Adena sangat tahu apa yang Eca rasakan. "Itu yang selalu Ayah bilang ke Mama waktu SMA dulu. Mama emang gila kayak nya, dari dulu ngejar-ngejar Ayah kamu mulu. Tapi sekali lagi, Mama ga menyesal dengan apa yang udah terjadi. Setidaknya, Mama pernah ngerasain hidup sama cinta pertama Mama. Emang mungkin udah takdirnya gini, kita emang ga jodoh."

"Aku tetep gabisa terima," ucap Adena. Persetan dengan kata-kata Eca yang ada benarnya itu. Karena faktanya, kata-kata bijak itu sama sekali tidak memperbaiki apa yang ia rasakan. Kata-kata bijak itu tidak bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.

"Hate is heavy, girl," ujar Eca, satu tetes air matanya dengan sempurna jatuh ke pipi. "You need to let it go, you need to feel like it break your bones."

------

Genta mendapat banyak sambutan ketika ia sampai ke kantor Gilang. Laki-laki itu mengenakan hoodie hitam dan celana berwarna senada. Karena sudah cukup banyak mengenal karyawan yang bekerja disini, Genta jadi tidak canggung-canggung amat. Ia memang disuruh menjemput Gilang karena mobil pria itu sedang masuk bengkel.

"Aduh, ganteng banget kamu mah!" Seorang resepsionis yang sedang hamil muda itu berkata dengan nada gemas, seakan ingin memakan Genta sekarang juga. Lalu, pandangannya beralih pada perut yang belum buncit itu. "Nanti ya Nak kamu kalo lahir ganteng nya kayak Abang Genta, oke!"

Sementara seorang resepsionis lain menyeletuk. "Kalo anak lo mirip anak bos, bisa di pertanyakan lo sebenarnya kawin sama siapa."

Genta lantas tertawa, kemudian segera menjauh dari meja tersebut ketika melihat Gilang keluar dari lift. Ia memang sengaja menunggu disini, alasannya karena malas saja harus ke ruangan Gilang yang ada di lantai delapan.

"Pulang dulu ya," pamit Genta kepada kedua resepsionis tadi, tidak lupa dengan senyuman manis yang bisa membuat ibu-ibu yang mempunyai anak gadis ingin menyeret Genta jadi menantu.

Gilang lantas mengalungkan tangannya di pundak Genta. Bila di sejejerkan seperti ini, mereka berdua malah terlihat seperti anak kembar bukan seperti ayah dan anak. Apalagi tinggi Genta yang hampir menyamai tinggi Gilang.

"Waduh bos, pinang di belah dua ini namanya," komentar salah satu office boy yang ada di pelataran parkir.

Genta tersenyum.

"Iya mang, kan saya awet muda," jawab Gilang penuh percaya diri, sedangkan Genta langsung mendecih pelan.

"Mana awet muda, kalo di deketin juga udah keliatan muka-muka bau tanahnya."

"Durhaka kamu, Papa kutuk jadi batu baru tau rasa."

FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang