BAB 16

661 52 0
                                    

Harapan Adena hari ini untuk tidak memikirkan apa-apa lenyap begitu saja beberapa jam yang lalu ketika ia melihat sosok itu di ujung koridor.

Bukan, bukan hantu. Melainkan Genta bersama ke-empat temannya yang tidak Adena ketahui semua siapa namanya. Kecuali Reyner. Laki-laki itu asik bercakap sebelum matanya menangkap Adena dengan selembar kertas di tangan sedang mematung.

Lalu, Genta tersenyum. "Astaga," gumam Adena sambil menaruh kepalanya di atas meja dengan pelan dan sangat dramatis.

Rena, teman sebangku Adena yang menjadi pengganti Athia kini menoleh ke arah perempuan tersebut. "Kenapa, De?" Adena lantas menggeleng.

"Eh iya, lo tau ga di kelas sebelah ada anak baru? Namanya Genta, cakep banget, terus baik juga lagi."

I know him so well. "Oh? Gatau gue, belum liat juga mukanya gimana."

"Fix lo harus liat!"

-----

Selama masa pendidikan formalnya berlangsung, Genta tidak pernah duduk sendirian. Tapi tahun ini, sepertinya ia harus terbiasa karena jumlah murid di kelasnya sudah genap--sebelum ia masuk.

Genta sempat mendengar beberapa bisikan anak perempuan yang mengatakan kalau laki-laki itu dingin. Tapi setelah Genta mengeluarkan aksinya, opini tersebut terpatahkan. Ia boleh saja mempunyai rahang tegas yang sangat menopang sikap pangeran dingin bak di dalam cerita-cerita dongeng, namun hatinya tidak sedingin itu.

"Kantin ga, Ta?" Genta kemudian bangun dari kursinya, berjalan bergabung bersama ke-empat temannya.

Selama perlajanan menuju kantin yang berada di lantai dasar sekolah, Genta menjadi pusat perhatian hampir seluruh murid perempuan yang ada di koridor sekolah. Wajahnya, memang sangat tampan. Ditambah beberapa kali laki-laki itu menebar tawa akibat candaan yang terbuat begitu saja.

"Qi," panggil Genta kepada laki-laki yang berjalan di sebelahnya.

"Apaan?"

"Emang muka gue se-cakep itu ya?"

Tepat satu detik setelah Genta menyelesaikan kalimatnya, bukan hanya Rifqi yang melotot tajam, melainkan Dewa, Reyner, dan Tristan juga melakukan hal yang sama.

"Najis banget, astagfirullah," ucap Dewa. Sedangkan Rifqi sudah melakukan adegan muntah yang di buat-buat.

Saat mereka selesai menuruni tangga, Genta berdiam diri disana sambil menatap ke arah kanan. Beruntung, tempat ia berjalan adalah yang paling belakang dari barisan. Jadi tidak ada yang menyadari kalau laki-laki itu tertinggal di belakang.

"Ngapain lo diem aja?" Tanya Rifqi dari arah kiri. Genta menggeleng, kemudian mengikuti ke tempat dimana Rifqi memanggilnya.

Itu Adena.

-----

Umur Reyner baru menginjak dua belas tahun masa itu. Masa-masa dimana Reyner masih menekuni olahraga bola basket di lapangan komplek rumahnya.

Pukul tiga sore, Reyner kecil dengan seragam basket kegedean masih bermain disana. Bersama satu temannya yang seumuran, laki-laki itu bernama Ikhsan. Baru satu jam kemudian, setelah ada anak yang lebih tua dari usianya ingin bermain, mereka minggir sejenak di tribun lapangan.

"Rey, kalo udah besar nanti, kamu mau jadi pemain basket?" Ikhsan bertanya di sela-sela desahan napas yang tidak teratur. Bila dibandingkan oleh Reyner, Ikhsan jauh lebih jago bermain bola basket.

Reyner lantas mengangguk antusias. "Iyalah! Emang kamu mau jadi apa?"

Ikhsan terlihat berpikir sebentar. "Kayaknya engga deh, aku mau jadi dokter aja, biar nyembuhin orang-orang."

Selain pandai dalam hal non-akademik seperti basket, laki-laki keturunan Manado-Sunda itu juga pandai dalam hal akademik. Nilainya tidak pernah mengecewakan, berbanding terbalik dengan Reyner yang kebanyakan nilainya merah.

"San, kamu tau ga Sultan sama Zaldi berantem?"

"Iya aku tau, mereka suka sama cewek yang sama kan? Ada-ada aja ya, padahal kan kita masih SD, masa udah mikirin pacaran-pacaran aja," decak Ikhsan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gatau tuh mereka, ga jelas banget," tambah Reyner.

"Nanti ya nih Rey, kita ga boleh berantem kayak mereka, apalagi cuma soal cewek. Abang Fian juga kemarin abis berantem sama temennya gara-gara cewek." Fian adalah kakak kandung Ikhsan yang usianya sekarang sudah menginjak enam belas tahun. Kedua anak itu tumbuh dengan sifat yang jauh berbeda. Bila Ikhsan itu anak kalem, Fian jangan di tanya. Amburadulnya tidak karuan.

"Oke deh. Janji."

Seminggu kemudian, tepat pukul dua siang hari sabtu Reyner sudah siap mengenakan kostum kebanggaannya yang di beli Mama di pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu. Hari ini, ada lomba dari kalangan usia yang di selenggarakan oleh komplek rumah Reyner.

Sudah bisa ditebak, Reyner ikut lomba basket bersama Ikhsan dan beberapa teman-temannya. Tapi, belum sempat laki-laki itu keluar dari gerbang rumahnya, Mama mencekal dari luar gerbang. Mengatakan kalau Ikhsan meninggal.

Ya, Ikhsan temannya. Ikhsan meninggal dua hari sebelum ujian nasional sekolah dasar. Laki-laki itu tidak akan pernah bisa mencapai cita-citanya.

Sejak itu, Reyner tidak pernah lagi bermain basket--kecuali ada pengambilan nilai dalam sekolah. Karena bermain basket selalu mengingatkannya pada sahabat masa kecilnya dulu. Sahabat yang meninggal karena penyakit anemia.

Sejak itu, Reyner benar-benar menepati janjinya bersama Ikhsan. Ia tidak pernah menyukai perempuan yang sama dengan teman-temannya.

Lalu, pernyataan yang ada di otak Reyner sekarang adalah; ia tidak yakin bisa menepati janji tersebut sekarang.

"Woy bego! Mau mesen apa?!" Tubuh Reyner terlonjak kaget ketika tangan Genta memukul meja tepat di hadapannya. Sontak, semua kejadian masa lalu itu hilang.

"Apa aja yang ada," jawab Reyner.

"Oke berarti nasi kuning." Kali ini Tristan menjawab, membuat semua orang tertawa--kecuali Genta--saat mata Reyner membalas dengan tajam.

"Kampret juga lo Tan lama-lama."

FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang