BAB 8

766 63 0
                                    

Setelah menangis semalaman di samping Eca, Adena baru tertidur pada pukul empat pagi sehingga sekarang perempuan itu belum bangun.

Eca menatap anak satu-satu nya yang masih tertidur lelap padahal waktu sudah menunjukan pukul tujuh. Wanita yang mengenakan rok span selutut itu kemudian duduk di pinggir kasur. Ternyata apa yang ia pikirkan dulu benar. Tentang ia yang pasti kuat bila anak ini lahir, dan sekarang nyata nya Eca tetap berada disini menghadapi sifat suami nya yang tidak berubah sejak jaman SMA dulu.

Ia mencium kening Adena selama beberapa detik, sempat meneteskan air mata disana sebelum Adena bergerak kecil. Ini semua bukan keinginan nya, ini semua bukan keingan nya untuk membuat Adena turut serta dalam masalah demi masalah yang ada.

Se-berat apapun hidup Eca, ia tidak pernah ingin Adena ikut serta merasakan hal tersebut. Tapi apa boleh buat ketika Tuhan berkehendak lain. Adena justru ikut membenci Ayah nya sendiri. "I love you so much, girl."

-----

Adena tidak masuk hari ini. Kabar itu cukup membuat Riska dan Tia termangu di tempat nya. Wali kelas bilang kalau Mama Adena mengizinkan perempuan itu.

Dan hal tersebut juga membuat Riska dan Tia mempunyai satu pikiran yang sama; mereka berdua belum pernah bertemu Mama Adena atau hanya sekedar kenal.

"Sakit apa ya?" Tia menebak-nebak sendiri di tempat nya yang sekarang pindah ke paling belakang--kursi yang tadi nya milik chairmate Riska sebelum nya yang sekarang pindah ke kursi di sebelah Adena tanpa persetejuan langsung oleh perempuan itu.

"Mati kali," celetuk Riska asal. Tia langsung memukul lengan temannya itu dengan keras, menyuruh Riska untuk diam sekarang juga.

"Adena ga masuk ya?" Tia dan Riska mendongak secara bersamaan.

Riska yang tersadar duluan lalu menjawab. "Engga."

"Kenapa?"

"Lo mau deketin Dena ya? Ga mungkin dapet." Mata Reyner membulat sempurna mendengar penuturan Riska yang agak sedikit menyinggung itu.

Sedangkan Tia mengangguk menyetujui. "Keajaiban banget dah kalo Dena mau punya pacar."

Reyner tidak menanggapi topik tersebut. "Bagi line nya dia dong."

"Dena ga ada line."

"Terkejoed aku," gumam Reyner sambil membasahi bibir nya sendiri. "Terus lo komunikasi nya gimana?"

"Telfon, SMS."

"Bangkrut gue kalo pacaran sama dia."

-----

Dena, Mama pergi kerja tadi pagi pas kamu masih tidur. Mama ada meeting banyak hari ini, mungkin jam delapan malam baru pulang. Makanan udah Mama sediain di meja makan, atau kalo kamu mau beli sesuatu uang nya ada di laci kamar Mama. Oh iya, tadi Mama udah telfon Mba Een buat dateng kesini. Mungkin siang Mba Een datang.

Sobekan kertas berisi tulisan tersebut Adena baca ketika dirinya akan membuka pintu kulkas untuk mengambil susu putih yang ada. Lamat-lamat senyum nya muncul, ia lebih suka disini ketimbang di rumah nya.

Adena merasa lebih baik ketika susu tersebut membasahi tenggorokannya yang kering. Sudah pukul sebelas siang, ia tidak sabar menunggu kehadiran Mba Een untuk menjadi teman mengobrol.

Makasih Ma udah izinin aku ga sekolah💙

Pesan tersebut Adena kirim ketika ia sedang menonton siaran televisi. Baru sadar kalau hari ini adalah hari jumat dan ia tidak berada di sekolah. Selain masalah terkait Genta, ia juga tidak punya semangat masuk sekolah karena masalah nya dengan Tia dan Riska.

Iya sama-sama, hati-hati. Mba Een udah dateng belum?

Tidak sampai lima menit, balasan masuk.

Belum. Mungkin lagi dimarahin Ayah soalnya aku nginep disini wkwk

Kekehan kecil keluar dari mulut Adena selagi mengetik pesan tersebut. Ayah nya memang lucu, tidak memperbolehkan ia berhubungan dengan Mama nya sendiri.

Setengah jam kemudian setelah merasa bosan dengan acara yang disiarkan di stasiun televisi, Adena keluar dari apartemen. Bermaksud ke minimarket yang ada di sebrang apartemen ini untuk membeli camilan.

Tidak butuh waktu sampai sepuluh menit, Adena sudah sampai ke minimarket tersebut. Tapi Adena lama memilih camilan apa saja yang akan ia boyong untuk begadang nanti malam sehingga ia membeli camilan tersebut sampai dua plastik besar.

Mata perempuan itu menyipit ketika hendak menyebrang, menghalau silau nya cahaya matahari siang yang sangat terik.

Saat tiba di lantai kamar nya, senyuman muncul di wajah Adena, namun lama-kelamaan memudar karena semakin dekat yang ia lihat ternyata bukan Mba Een.

Itu seorang laki-laki yang berdiri memunggungi nya.

FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang