BAB 21

993 65 0
                                    

Adena memang tidak pernah mengatakan hal-hal manis untuk kedua temannya. Tapi dari cara Adena memperlakukan kedua temannya, ia masuk dalam kategori teman yang baik.

Kalau diuraikan, Athia tidak ingat se-berapa banyak hal baik yang sudah Adena lakukan untuknya. Namun masih ada satu yang membekas di dalam ingatan Athia.

Sekitar empat bulan yang lalu, saat pelajaran matematika berlangsung Athia tidak sengaja mengumpat kasar dan berteriak. Bu Endang--guru yang mengajar--pun memukul penggarisnya ke meja, meminta si pelaku untuk menunjuk tangan. Hampir sepuluh menit, Athia sama sekali tidak ingin menunjuk tangannya. Wajahnya berubah pucat pasi dengan tangan yang gemetar.

Semua pasang mata terbelak kaget ketika melihat malah Adena yang menunjuk tangan, padahal semua murid tahu bahwa pelakunya adalah Athia. Alhasil, Adena harus berurusan dengan guru yang paling ditakuti di sekolah selama dua jam setelah jam pelajaran selesai. Sampai sekarang pun, Bu Endang masih membahas masalah tersebut dan masih membawa-bawa nama pelaku yaitu Adena.

Kenangan itu kembali berputar di otak Athia, bersamaan dengan derai air mata yang turun di wajahnya. Sedangkan sosok perempuan yang ada di samping Athia sibuk menenangkannya.

"Lo ga salah Ti, jangan salahin diri lo sendiri," ujar Riska, tangannya masih bergerak mengelus-elus pundak Athia tapi tidak berpengaruh apa-apa bagi perempuan itu.

Mba Een yang menjadi narasumber disini jadi meringis pelan. Merasa tidak enak karena sudah menceritakan semua seluk beluk keluarga majikannya. Dan tidak pernah terpikirkan olehnya selintas pun bahwa Athia adalah anak dari wanita yang belakangan ini sering diajak Tuan-nya ke rumah ini.

Athia dan Riska tidak pernah tahu tentang Adena yang kadang tidak tidur di rumah ini. Mereka sama sekali tidak pernah tahu dan Adena pun tidak pernah memberi tahu. Niatnya, Athia dan Riska akan meminta maaf hari ini tapi orang yang dicari tidak ada di rumah.

"Aduh non, mba jadi ga enak, mau tambah lagi ndok minumnya?"

Riska menggeleng.

------

"Ma, do you believe in love?" Suara Adena terdengar parau di telinga Eca.

Seketika, rasa bersalahnya menyeruak di dalam hati. Ia terlalu sibuk mengurusi masalahnya sendiri, tanpa menyadari kalau hal tersebut juga berpengaruh kepada anaknya. Ia lupa mengajarkan anaknya apa yang tidak ia dapat dalam pengajaran formal di sekolah. "I believe in it."

"Maafin mama, De," ujar Eca sambil merangkul pundak anaknya. Sekaligus memisahkan jarak antara dirinya dan Adena. "Cinta itu penting, karena kita ga bisa hidup tanpa cinta."

"Aku ga percaya."

"Kenapa? Karena kamu cuma mikir cinta itu cuma untuk pasangan? Engga, De. Cinta itu luas. Cinta buat teman, buat lingkungan, cinta buat orangtua dan sebagainya. Ga selamanya cinta selalu berujung pada laki-laki," jeda sebentar. "Kamu ga akan bisa hidup tanpa cinta, karena kamu ga mungkin hidup sendirian nantinya. Kita itu makhluk sosial, emang kamu mau, nanti kalo udah tua kamu ga punya orang yang ngurusin kamu?"

"Maksud aku disini, cinta untuk pasangan. Aku ga percaya itu ada. Misalnya sekarang, kenapa pasangan di luar sana mutusin buat nikah? pasti karena mereka saling cinta, tapi beberapa bulan kemudian cerai dengan alasan sudah tidak cinta lagi. Perasaan manusia berubah-rubah kapan pun. Buat apa ada cinta kalo gitu?"

"Kamu salah, Nak. Ada beberapa kemungkinan yang bisa buat perasaan cinta itu hilang, ga semua pasangan cerai cuma karena semata-mata mereka 'sudah ga cinta lagi' pasti ada beberapa alasan di dalamnya. Misal, si perempuan udah ga cinta lagi ke suaminya karena ternyata suaminya kasar. Semua punya alasan.

"And you're right. Perasaan manusia bisa berubah kapan aja, tapi kalo diri kita ga menghendaki hal itu buat terjadi, it wont be happen at all."

Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Adena diam seribu bahasa, masih berusaha menyangkal perkataan Eca barusan, tapi ada sebagian dalam dirinya yang membenarkan hal tersebut. Makna kata arti cinta bukan hanya untuk pasangan. Pantas, selama ini hidupnya kurang mengesankan karena ia tidak menaruh bumbu cinta di dalamnya.

"Soal perceraian, maka dari itu manusia di himbau bahwa pernikahan bukan sesuatu bahan candaan. Pernikahan itu harus sakral, dan kalau bisa terjadi satu kali dalam seumur hidup.

"Soal teman, kamu harus mencintai teman kamu sebagai mana mestinya. Karena kalo ga ada teman, kamu ga mungkin sampai di titik ini. Tanpa kamu sadari, ada beberapa teman yang bahkan udah relain apa aja buat kamu meskipun secara ga langsung. Jangan pernah menyakiti hati orang lain, Nak."

Adena sempurna menghela napas.

"Kadang luka yang tidak terlihat lebih susah disembuhkan ketimbang luka yang terlihat oleh mata."

------

Air mata Adena lolos begitu saja ketika ia melihat laki-laki yang baru muncul dari pintu berwarna putih itu. Perasaannya campur aduk, antara takut, senang, dan marah.

Genta yang di kejutkan oleh hal itu kemudian menjadi panik seketika. "Na? Lo kenapa?! Kok nangis?! Na!"

Adena tidak menjawab apa-apa. Perempuan itu beberapa kali menarik ingusnya yang hampir menampakan diri, sambil menghapus air mata dengan punggung tangan. Genta masih diam pada satu menit pertama, sebelum akhirnya laki-laki itu berinisiatif memeluk Adena.

Parfum khas yang hilang dari penciuman Adena beberapa tahun ke belakang kini mulai ia hirup kembali. Entah kenapa, ada suatu beban yang selama ini ia pikul sendirian mengurang dengan sendirinya. Berganti dengan tangisan yang lebih tepat di katakan tangisan bahagia atau tangis kesedihan.

"Wangi rambut lo masih sama," ucap Genta pelan. Ia memiringkan kepalanya agar bisa bersandar di puncak kepala Adena. "Berarti lo masih suka campurin shampo mint sama stroberi."

Adena terkekeh kecil dalam pelukan Genta, kemudian ia bergumam, "ngasal, gue udah ga se-bego itu."

Kebiasaan tidak jelas Adena itu memang bermula saat umurnya menginjak sepuluh tahun. Karena tidak ada produk shampo yang menggambungkan antara wangi mint dan stroberi. Jadi, ia mencampurkan dua shampo dengan merk berbeda ke dalam satu wadah baru ia pakai. Lalu, tiga tahun kemudian hal tersebut berhenti seiring ia tahu kalau 'katanya' hal tersebut dapat merusak rambut.

"Ta."

"Hm?"

"Are you still same?"

"Kenapa lo nanya gitu?" Pelukan di pinggul Adena mengendor karena Genta melepaskannya. Kepala laki-laki itu kemudian menatap sedikit ke bawah agar bisa menatap mata Adena dengan jelas.

"Karena gue berharap ada sebagian dari diri lo yang masih sama kayak dulu. Kalo pun udah engga, yaudah."

"Yaudah apanya?"

"Yaudah gue pulang."

Laki-laki yang mengenakan kaos berwarna abu-abu gelap itu terkekeh pelan. Ah, kenapa rasanya begitu menyenangkan? Hal yang selama ini ia inginkan, datang dengan sendirinya. Ia jelas bukan anak PAUD yang tidak mengerti apa yang Adena tanyakan barusan. Ia tahu jelas maksud pertanyaan itu. "Yeah, I'm still in love with you. Is it you want to hear, right?"

Keduanya tersenyum.

***

Long time no see gengs!!! Apa kabar semua? Masih inget sama cerita ini? Sejujurnya gua aja masih lupa makanya baca beberapa bab sebelum bab ini dulu. Jadi, saran gue sih ikutin itu aja biar ga lupa jalan veritanya oke.

Tengkyu!!

FernwechTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang