5 - First Enemy

66 20 5
                                    

[Lena P.O.V]

Setelah mencoba untuk menyelesaikan karya tulis ilmiahku bersama Tami, meskipun belum selesai secara total, saatnya aku menunggu hari esok dengan beristirahat di rumahku sampai aku bangun untuk sholat Tahajjud.

Keesokan harinya, aku kembali memasuki kelas X MIPA 9 di sekolah favoritku. Seperti
biasa, aku duduk dengan santai di bangku tengah kolom ketiga baris ketiga. Mengapa
bisa demikian? Karena aku kasihan sama si Mutia. Dia berkacamata, jadi dia sulit untuk melihat tulisan papan tulis dengan jelas, apalagi jika dia duduk di bangku belakang, makanya dia pindah ke bangku tengah, bersamaku juga. Seperti biasa juga, Mutia biasanya datang lebih awal daripadaku. Begitu juga si Mutiara, temanku yang juga bermata empat, sama dengan Mutia. Ah, karena ciri mereka hampir sama, jadi aku sulit untuk membedakan yang mana Mutia dan yang mana Mutiara.

“Pagi, Lena,” sapa Mutia ketika ia sedang duduk di bangkunya.

“Pagi juga, Mutia,” balasku. Lalu aku segera duduk di bangku sebelah si Mutia, dan aku akan menceritakan sesuatu.

“Mau tahu tidak, Mut?” kataku, menunggu respon penasaran dari Mutia.

“Apa, Len?”

Yes! Nampak juga rasa penasaran dari kawan sebangku aku ini, hehehe... ah sudahlah.

“Jadi, kemarin pas pulang sekolah, aku dan Tami sedang menyelesaikan karya tulis
ilmiah kami, lalu, pas aku pulang keluar dari gang rumahnya, tidak sengaja aku
bertemu dengan cowok itu, dan tahu tidak, itu adalah cowok yang aku temui sebelumnya di kantin kemarin!” ceritaku dengan nada yang sedikit menyebalkan.

“Memangnya apa yang kalian bicarakan pada saat kalian bertemu saat itu?” tanya Mutia kemudian.

“Aku hanya menyapanya, sedangkan dia merespon dan menanyakan sesuatu padaku,” jawabku lirih.

“Apa itu?”

Eh, mengapa Mutia tidak bersuara untuk bertanya kepadaku, tetapi ada suara ‘Apa
itu?’ terdengar di telingaku? Ah, jangan-jangan....

Tanpa berbasa-basi lagi, aku tolehkan kepalaku ke sekitar, mencari sumber suara yang menanyakan soal itu tadi. Pasti dia diam-diam mendengar ceritaku tadi. Tetapi aku menyerah, karena aku tidak menemukan siapapun yang bertanya selain Mutia. Tetapi aku tiba-tiba...

“Aduh!” kejutku, “Sakit!”

“Hehehe, maaf ya Lena, aku tidak sengaja mengejutkanmu dengan tepukan tanganku ini,” kata Heni kemudian.

Ternyata teman-teman baruku itu yang diam-diam mendengar ceritaku dan bertanya ‘Apa itu?’ padaku. Sungguh, itu
hampir saja membuatku kesal. Tapi kalau memang itu sifat mereka, mau bagaimana
lagi?

“Dasar, kau datang layaknya tamu yang tidak diundang,” kesalku pada Heni dan Fidza.

“Jangan marah, Len. Kita ingin mengajakmu untuk bergurau bersama kami,” sambung Fidza.

“Baiklah. Jadi, si cowok itu menanyakan nama dan kelas padaku.”

***

[Flashback ON]

Aku hampir saja ditabrak oleh motor dengan satu pengemudi saja. Ternyata dia adalah...

"Kau lagi?!" seruku panik.

Tapi cowok itu malah memasang muka yang cool saja. Tidak memikirkan aku yang hampir saja jantungan ketika melihat dia.

"Hehe, aku ketemu lagi denganmu disini," kata cowok itu.

Aku mencoba mengingat dan menebak kapan terakhir kali aku melihatnya.

"Ah, kau cowok yang tadi menabrak aku di kantin sekolah kan?" tebakku.

Namun dia hanya tersenyum malu dan canggung. Apalagi aku melihat penampilannya yang layaknya seorang badboy. Baju digulung ke atas, padahal bajunya tidak sampai ke pergelangan tangan alias pendek, beda dengan baju cewek yang panjang karena kebanyakan mereka akan memakai jilbab. Selain itu, bajunya dikeluarkan. Uh, dia layaknya seorang badboy sejati.

"I-i-iya," jawabnya singkat dan gugup.

"Baiklah, aku pulang dulu!" seruku. Aku langsung pulang menunggu jemputan di depan gangnya, tapi dia mencegahku. Dan, tanganku DIPEGANG?!

"Tunggu," ujarnya kemudian. Aku masih syok, mengapa dia harus memegang tanganku seperti itu. Erat lagi.

"Kau kenapa sih?" seruku kesal.

Oh tidak....

Cowok itu langsung melepaskan tangannya dariku. Sungguh aneh.

"Maaf, aku ingin tahu nama dan kelasmu."

"Untuk apa? Itu tidak penting," tolakku.

"Please... aku ingin tahu. Kita saling tukaran informasi, paling tidak kita tahu nama dan kelas masing-masing," pintanya.

Maksa sekali cowok itu.

"Baiklah baiklah. Jadi, namaku Annisa Milena. Panggil saja aku Lena. Aku berasal dari X IPA 9."

Huh, aku memperkenalkan diriku secara terpaksa deh.

"Nama yang bagus, dan pantas saja aku tidak ketemu orang yang sepertimu di kelas IPS. Oke, giliranku memperkenalkan diri. Namaku Ferdiansyah Saputra, panggil saja Ferdi. Aku dari kelas X IPS 2," jelasnya yang tentu saja didahului oleh basa-basi.

Tiba-tiba ada sebuah motor menungguku di depan gang. Yes. Aku tidak akan berbicara dengannya lebih lama lagi. Aku harus pulang.

"Baik. Aku pulang dulu, sudah dijemput," pamitku. Kemudian aku berlari ke arah motor itu dan meninggalkannya.

[Flashback OFF]

***

Tiba-tiba saja ada yang menyenggolku, dengan sengaja, i feel.

“Woi, kau tahu sakit, tidak?” seruku.

“Tahu kok. Tapi memangnya gue pikirin?” sewotnya.

“Tahan emosi, semuanya,” kata Heni kemudian.

“Kau itu siapa?” tanyaku. Aku pernah liat mukanya, entah aku ingat atau sudah lupa.

“Namaku, Rinda. Rinda Alamanda. Kau harus ingat nama itu.”

“Baiklah. Rinda. Aku Lena, ini kawan-kawanku, Heni, Fidza, Mutia, dan Mutiara,” kataku sambil memperkenalkan mereka satu per satu.

“Bagus, ada ya namanya Mutia dan Mutiara dalam satu kelas. Oh iya, aku mau ajak kau ke kantin pas istirahat nanti, kau mau ikut?” ajak Rinda. Kemudian ia malah
tersenyum jahat.

“Rinda, kau tidak salah mau mengajaknya ke kantin? Tadi saja kau menyenggol Lena tanpa dosa lho,” kata Mutiara.

“Diam kau, serah aku lah!” seru Rinda.

Akhirnya aku pun hanya mengiyakan ajakan Rinda itu. Maka pas istirahat, aku dan Rinda akan pergi ke kantin berdua.

***

Dalam perjalanan ke kantin, Rinda dan aku awalnya hanya saling diam tidak bersuara sama sekali.

Oh ya Allah, aku tidak tahu mau ngomong apa sama Rinda. Aku canggung, padahal dia cewek nih.

Tapi, ada yang aneh. Tujuan kami bukannya ke kantin, ia malah  membawaku ke pojok ruangan kosong dan menguncinya.

"Hei, Rinda, kau kenapa?" seruku.

"Aku dari awal masuk SMP sudah tidak suka pada kau, menyebalkan banget. Ternyata kita ketemu lagi di sekolah yang sama, di kelas yang sama."

"Apa maksudmu?"

Tanpa ia menjawab, ia langsung menamparku dengan kuatnya. Pipiku langsung memerah dan aku akan menahan sakit ini di depan dia.

"Woi tolong jawab! Maksud kau itu apa?!" seruku dengan emosi yang mulai memuncak.

Rinda kemudian menjawab pertanyaanku. "Maksudku...."

.
.
.

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Fer-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang