10 - (H-1) Anniv Party

63 15 0
                                    

[Lena P.O.V]

Gila tuh cowok. Dia pakai acara ngajakin aku segala. Tumben-tumben juga dia mau mengajakku pergi ke pesta anniv-nya Rinda, teman sekelasku. Sebenarnya aku mau menerima ajakannya, tapi aku takut Rinda bakal melakukan hal yang aneh-aneh lagi padaku. Apalagi dia masih tidak bisa menerima keputusannya Vania untuk melanjutkan sekolahnya ke Sampoerna, dan dia pasti terus-terusan menyalahkanku atas hal tersebut. Oke, katakanlah aku dan Vania hanya sebatas teman dan aku tidak pernah menikung sahabatnya Rinda sendiri. Ketika kami bersaing untuk menjadi yang terbaik, kami tidak pernah bermusuh-musuhan dan sejenisnya. Semuanya secara sehat. Tetapi mengapa Rinda tidak melihat hal tersebut dan tetap saja aku yang disalahkan? Apa salahku selama ini sehingga Rinda membenciku seperti itu? Apa salahku padanya sehingga waktu itu dia mencoba mencelakaiku? Ferdi, aku butuh perlindungan darimu, sebenarnya. Semoga kau bisa melindungiku dari apa yang akan Rinda lakukan jika aku berada di pestanya.

Aku bergumam dalam waktu lama, lama, dan semakin lama. Kini aku berharap jika Ferdi ada di sekelilingku untuk melindungiku. Tetapi aku kemudian menepuk jidatku beberapa kali, pertanda bahwa aku harus sadar secepatnya. Dosa jika aku terlalu sering memikirkan dan berharap bantuan dari cowok itu.

Astaga, aku harus sadar, tidak boleh terlalu larut dalam pikiranku tentang Ferdi. Aku masih punya Allah SWT, Tuhanku.

Kemudian, aku berusaha untuk tidak memikirkannya lagi. Segera aku ambil sesuatu yang dapat menyibukkanku, handphone atau buku bacaan. Biarkan sajalah Ferdi itu. Buang saja pikiranku tentangnya. Tidak ada manfaatnya.

***

Sudah beberapa hari aku duduk dengan Mutia di baris ketiga kolom ketiga. Sejujurnya aku bosan jika aku hanya berbicara dengan Mutia secara dekat. Jadi, aku beranikan diri untuk mengajak kenalan dengan teman di belakangku. Dan ternyata dia itu cowok. Segera aku membalikkan badanku ke belakang untuk mengajak kenalan.

“Hai,” sapaku singkat.

Untungnya, cowok itu ramah padaku dan membalas sapaanku, “Hai juga. Siapa namamu?”

Awalnya aku merasakan ada yang aneh. Dia memakai baju khas sekolah SMP-nya yang lain dari yang lain. Bajunya berwarna biru agak kusam, dan logat daerahnya masih terdengar jelas di telingaku. Tetapi akhirnya aku menjawab, “Namaku Lena. Kalau kau?” Aku kemudian mengulurkan tanganku untuk bersalaman.

“Namaku Tio Al-Khair. Panggil aku Tio.” Kemudian dia mengulurkan tangannya juga dan kami pun bersalaman.

“Salam kenal ya, Tio.”

“Salam kenal juga, Lena.”

Kemudian kami pun melepaskan tangan kanan kami masing-masing. Dan perkenalan pun masih dilanjutkan.

“Oh iya, kamu pasti dari SMP Tunas Bangsa kan? Yang di seberang sekolah ini, lho. Dari pakaian khasmu saja sudah kelihatan,” ujarnya menebak asal sekolahku dulu.

Aku langsung menganggukkan kepalaku, pertanda bahwa tebakannya itu benar. Yah, sebenarnya bukan tebakan sih, tapi itu memang kenyataannya kalau aku memang berasal dari SMP Tunas Bangsa. Segera aku membalasnya dengan hal yang sama, “Dari baju khasmu, pasti kau berasal dari luar kota, bukan?”

“Iya, betul. Aku berasal dari SMP Tunas Bangsa di kotaku sebelumnya. Tetapi kota itu tetap satu provinsi dengan kota ini kok.”

“Oh begitu ya, Tio. Semoga kau betah di sekolah ini ya,” balasku penuh harap.

“Aamiin, makasih Lena.”

By the way, apakah kau sudah berkenalan dengan teman sebangkumu?” tanyaku kemudian.

Fer-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang