12 - (Become) A Troubled Party

35 11 0
                                    

[Lena P.O.V]

Ketika aku, Ferdi, Ziah, dan Ikrar telah sampai di rumah—bukan di rumahku tetapi di rumahnya Ziah—dengan cepatnya, aku bergegas untuk memakai gaun, jam tangan, kerudung, bros, gelang, dan sepatu yang akan kupakai untuk pesta. Kami akan memakai pakaian yang berbeda-beda.

Ziah, si tuan rumah, memakai gaun yang sangat indah. Menurutnya, gaun itu ia dapatkan dari pinjaman orang tuanya. Gaun itu berwarna merah berkilau dan ada garis-garis hitam di bawahnya. Untuk aksesoris lainnya, ia tidak memakai jam tangan maupun bros. Dia hanya memakai gelang yang telah dibelikan oleh Ikrar untuknya. Sepatunya berjenis kets dan berwarna warna-warni.

Ikrar, pasangannya Ziah, memakai baju kemeja berlengan panjang. Aku tidak mengerti bagaimana bisa dia punya baju seperti itu. Soal aksesoris seperti kerudung, bros, dan gelang itu tentu saja ia tidak memakainya, tetapi ia akan memakai jam tangan berwarna hitam dan sepatu hitam.

Ferdi, cowok peralihan itu, memakai baju putih yang dilapisi jas berwarna hitam. Yah, itu kesannya seperti bos atau orang kaya, tetapi dia memutuskan untuk memakainya. Dia tidak memakai kerudung, bros, gelang, maupun jam tangan. Dia memakai celana hitam dan sepatu coklat. Simple.

Aku sendiri yang kelihatan lebih mewah, tetapi Insyaa Allah syar’i. Aku memakai gaun berwarna pink dengan kerudung dan bros berwarna sama. Lalu aku memakai jam tangan dan gelang berwarna hitam, serta memakai sepatu yang diberikan oleh Ferdi tadi.

Dan kini kami berempat siap pergi ke pestanya Rinda.

***

Aku berboncengan dengan Ziah di motor, mengapa demikian? Soalnya aku tidak berani untuk minta tolong pada Ferdi untuk memboncengku lagi, setelah dia mengantarku ke rumahnya Ziah. Di perjalanan, kami awalnya tidak saling berbicara, tetapi setelah itu, barulah kami memutuskan untuk mengenal satu sama lain.

“Ehm.... Apakah namamu Ziah?” tanyaku ragu-ragu.

“Iya, namaku Ziah, kau siapa?” katanya sambil fokus ke jalanan mengendarai motor.

“Aku Lena. Salam kenal ya,” balasku yang diiringi senyuman manis meskipun dia tidak melihat senyumanku itu saking fokusnya dia mengendarai jalanan.

“Iya, salam kenal juga untukmu, Len. Oh iya, siapa cowok yang tadi mengantarmu itu?”

“Oh, itu Ferdi, anak IPS yang seangkatan dengan kita.”

“Jadi namanya Ferdi ya, begitu? Kok aku merasakan dia mirip dengan Ikrar, sih?”

“Ah masa sih?” tanyaku tidak percaya.

“Mereka itu berkumis tebal, dan ada kemiripan, mukanya pun juga hampir mirip. Hampir saja aku memanggil si Ferdi dengan sebutan ‘Ikrar’. Masa mereka—“

“Ada perbedaan di antara mereka, Ziah. Warna kulitnya agak lebih gelap daripada punya Ikrar.”

“Oh, jadi kita membedakan mereka berdua itu hanya dari warna kulitnya?”

“Tidak juga sih. Badannya Ferdi agak lebih besar juga daripada badannya Ikrar yang agak-agak kurus.”

“Siap, Len.... Ada dua pembeda antara Ferdi dan Ikrar. Hehe.”

By the way, apa kau suka sama Ikrar?”

Tetapi, Ziah tidak menjawab pertanyaanku dengan mudahnya. Ia memberhentikan kendaraannya lalu terdiam. Apa yang akan ia jawab? Apakah pertanyaanku menyulitkannya dan membuatnya merasakan hal yang tidak ia inginkan?

Tetapi untungnya, setelah beberapa saat kemudian, ia menjawab pertanyaanku, “Tidak. Aku dan Ikrar hanya sebatas teman.”

“Tapi, kau dan Ikrar—“

Fer-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang