17 - F vs S

34 8 0
                                    

[Lena P.O.V]

Aku sudah bertemu dengan teman sebangkunya Ferdi yang sudah aku ajak untuk berkenalan sebelumnya. Namanya Fatah, teman sebangkunya Ferdi. Sekarang, aku ingin pulang dari kantin menuju ke kelas X IPA 9, tetapi tiba-tiba ....

“Aduh!” seruku.

“Gila! Bisa hati-hati tidak jalannya?” seru orang itu tidak kalahnya.

Aku pun menatap orang yang tadi berbicara seperti itu padaku. Dia yang membuat kami bertabrakan. Ternyata ... dia itu cowok.

“Heh, cowok. Kau tuh yang tidak berhati-hati! Aku jalan biasa saja kali!”

“Lupakan soal itu. Kita kenalan dulu saja, oke?”

“Gila kau. Aku ingin ke kelas, aku tidak mau buang-buang waktu dengan orang seperti dirimu. Tidak akan!” seruku kesal, kemudian aku pergi meninggalkan cowok itu, tetapi dia tiba-tiba memegang tanganku.

“Gak akan aku lepaskan sebelum kau berkenalan dulu denganku, gadis,” ujarnya lagi. Aku pun hanya bisa pasrah kemudian aku menyetujuinya, dan kedua tanganku terlepas.

“Namaku Lena, anak X IPA 9. Kamu?” kataku memperkenalkan diriku ke cowok itu.

“Aku Sanusi, anak IPA pokoknya, kelasnya di awal-awal kok,” balasnya.

“Oh Sanusi. Oke ya, aku ke kelas dulu. Aku tidak mau buang-buang waktu. Bye.” Kemudian aku pun berlalu meninggalkan Sanusi, cowok yang baru saja aku kenal itu.

“Oke, bye.”

***

Sepulang sekolah, aku bertemu dengan Ziah secara tidak sengaja.

“Ziah ...,” sapaku.

“Oh hai, Lena. Ada apa? Engkau menemuiku secara tiba-tiba saja,” balas Ziah padaku.

“Kau mau ngantarin aku ke rumah sakit, tidak? Aku mau menjenguk Ferdi lagi,” pintaku kemudian. Maklum, aku belum pandai naik motor sama sekali, padahal aku sudah hampir berusia enam belas tahun.

Ziah pun terdiam untuk sementara dan tidak menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba, seorang cowok hadir di antara kami.  Siapa lagi kalau bukan ....

“Heh, Sanusi?” kejutku ketika melihat Sanusi di antara kami berdua.

“Oh, hai, Lena. Apa kabar?” sahut Sanusi yang baru saja berkenalan denganku tadi. Astaga. Tidak ada kata-kata lain yang cowok itu ucapkan. Sungguh menyebalkan dan hampir saja mood-ku rusak karenanya.

“Baik kok. Kalau kau?”  balasku.

“Aku baik juga, alhamdulillah. Oh iya, aku ingin pergi ke rumah sakit, seperti yang Lena bilang tadi. Tapi, bisakah kau beritahukan padaku, Ferdi itu siapa?”

Ternyata Sanusi sudah mulai kepo akan urusan ini. Astaga, padahal aku mau informasi bahwa Ferdi di rumah sakit ini hanyalah aku, Ziah, Ikrar, Fatah, dan juga teman-teman sekelasnya Ferdi yang tahu soal ini.

Apa yang harus aku lakukan? Mengapa dia sudah mulai kepo? Apakah dia mengenal Ferdi sebelumnya? Aduh ... aku harus jawab apa ya?

Aku terus saja membatin di dalam hati, memikirkan jawaban yang tepat untuk Sanusi kali ini. Mengapa perasaanku ketika ingin menjawab pertanyaan Sanusi hampir sama sedemikian rupa dengan perasaanku ketika ingin menjawab pertanyaannya Ferdi? Tetapi, aku jawab saja pertanyaan itu, “Ferdi itu temanku dari kelas IPS. Memangnya kenapa?”

“Oh dia anak IPS, aku kenal orang itu. Dia adalah temanku pas SMP.”

“APA? JADI KAU TEMANKU PAS SMP? BEGITU?!” seruku dengan nada yang meninggi pada Sanusi, saking kaget atau terkejut ketika mendengar perkataan-perkataan barusan. Ziah yang melihat kami berdua pun hanya menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa dia sudah biasa saja dengan responku ketika mendengar kabar yang menuruku itu heboh.

Fer-naTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang