R-R17: Mengungkapkan

4.4K 368 139
                                    

BERJALAN beriringan di koridor membuat seluruh pasang mata menatap ke arah mereka. Retta dan Regha berjalan berdua di koridor menuju kelas sembilan yang berada di lantai atas. Retta harus menerima konsekuensinya kalau berangkat sekolah bersama Regha. Menjadi sorotan khalayak umum satu sekolah. Adik kelas dan juga teman satu angkatannya menatap penasaran.

Kadang Retta suka bertanya di dalam hati, kenapa semua orang ingin sekali mengetahui apapun hal yang berhubungan dengan Regha? Semua hal yang dilakukan Regha seolah menarik meraka untuk bertanya, bergosip ataupun hal lain.

Benar-benar membingungkan.

"Gue bingung deh, Gha." Retta melirik Regha yang berjalan di sebelahnya. "Kenapa setiap orang yang dekat sama lo jadi bahan gossip?"

Mendengar pertanyaan Retta, Regha tertawa membuat semua populasi perempuan ternganga melihatnya. "Gue juga bingung kayak nggak ada bahan omongan yang lain aja."

"Apa mungkin karena lo cucu pemilik sekolah." Retta mengambil kesimpulan setelah berpikir.

Regha tersenyum masam. "Mungkin gitu. Mereka cuma deketin gue karena ada maunya aja. Nggak tulus."

Senyap. Retta menatap Regha diam, sedetik kemudian tersenyum manis. "Gue tulus kok."

Sontak kata-kata itu membuat Regha berhenti berjalan, menatap Retta lamat-lamat. Dari matanya Regha tahu ada ketulusan di mata cokelat itu, kejujuran yang tidak pernah Regha dapatkan dari orang yang mendekati Regha. Kecuali Arven dan Davel.

"Lo serius ngasih bekal makan lo ke gue?" Regha beralih ke pertanyaan lain, entah kenapa seperti ada hal yang membuatnya merasa bersalah.

Retta mendongak menatap Regha, ya tadi di dalam mobil Retta memberikan kotak makannya pada Regha. Sepertinya Retta tidak akan bisa memakan makanan itu-yang dulu adalah makanan kesukaannya. Dan karena Retta tidak ingin makanannya terbuang sia-sia jadilah dia memberikan kotak bekalnya pada Regha.

"Iya, gue lagi nggak berselera makan nasi goreng." Retta menjawab sambil menaiki undakan tangga, Regha juga.

Regha tersenyum seperti tahu masalah apa yang tengah menggayuti Retta. "Lo ada masalah?"

"Enggak."

Regha menghela napas, perempuan memang sulit di tebak. "Pasti makanan itu ngingetin lo sama ibu lo?"

Pertanyaan itu bukan seperti pertanyaan di telinga Retta tapi malah terdengar seperti tebakan yang Regha sudah tau jawabannya.

Retta tersenyum masam. "Karena lo udah tau jawabannya, mending lo nggak usah nanya lagi." Retta berhenti berjalan di depan kelas Regha. "Lo nggak usah nganterin gue sampai kelas. Kelas lo lebih deket dibandingkan kelas gue yang ada di ujung."

Regha mengangguk, matanya tak pernah lepas memandang mata Retta yang terhalang kacamata. "Nanti pulang sekolah ada yang mau gue omongin, sekalian belajar bareng di café."

Retta mengangguk sambil tersenyum. Regha kemudian berlalu dari pandangannya masuk ke dalam kelas. Duduk di bangku yang ada di pojok ruang kelas bersama Arven. Sedangkan Davel duduk di depan mereka berdua lalu tersenyum padanya.

Retta tidak peduli dengan Davel yang sering tersenyum. Retta cuma heran, dulu sebelum dekat dengan Regha. Davel sangat sinis padanya, tapi lihatlah sekarang cowok itu jadi ikut berubah.

***

"Seharusnya jangan di tambah dulu. Kalo lo tambah bakalan salah hasilnya." Retta mengoreksi jawaban salah Regha. Tapi karena tak terdengar sahutan apapun dari Regha membuatnya mendongak.

Mata cokelatnya langsung menabrak mata hitam pekat cowok itu. Regha memperhatikannya lekat, seolah-olah Retta adalah objek yang sangat menarik. Tak ayal hal itu membuat pipinya terasa panas.

"Regha!" Retta menabok tangan Regha yang berada di meja, sengaja membangunkan cowok itu dari lamunannya. "Lo dengerin gak sih apa yang gue jelasin!"

Regha berdehem, menetralkan suaranya. "Apa? Emang tadi lo jelasin apaan?"

Memutar bola matanya kesal, Retta mendengus karena Regha benar-benar tak memperhatikan penjelasan dari soal di buku matematika milik Regha. "Lo jangan banyak bengong, nanti lo nggak akan bisa nyelesain soal kayak gini. Serius dong."

Regha sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Retta, cowok itu malah kembali diam memaku mata hitamnya pada bola mata Retta. "Gha..."

Semua kata-kata Retta kembali tertelan ke tenggorokkannya saat Regha menyela perkataan yang ingin ia sampaikan.

"Awalnya kita sama- sama nggak suka, lo nggak suka sama sikap gue. Sedangkan gue, gue nggak suka sama sikap lo yang menentang gue. Tapi gue berusaha berubah karena merasa bersalah sama lo."

Retta menunggu jawaban Regha dengan sabar, tapi Regha terlihat ragu untuk melanjutkan. "Sebenarnya lo mau ngomong apa sih, Gha? Kalo emang ga penting mending lanjut belajar lagi."

"Dan dari berubahnya sikap gue, penilaian gue ke lo juga ikut berubah." Regha semakin intens menatap kedalaman mata Retta seolah-olah mata Retta benar-benar berarti untuk Regha.

"Gue suka sama lo, Ta."

Mata Retta melebar, terkejut dengan perkataan cowok itu. Jantung Retta jadi memacu berkali-kali lipat. Retta membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata keluar, tertahan di tenggorokan.

"Gue nggak bercanda." ucap Regha saat melihat mata Retta terpancar keraguan. "Gue serius, kayak lo yang selalu serius ngajarin gue, gue juga serius sama yang gue omongin."

Retta menunduk bingung bagaimana menanggapi ucapan Regha, jujur Retta tidak mengerti dengan perasaannya sekarang, yang dia tahu dia hanya merasa nyaman berada di dekat Regha.

Apalagi cowok itu sudah berubah baik padanya, tidak suka membentaknya lagi dan juga tidak mengeluarkan kata-kata sinis. Regha jadi sering berkata lembut padanya, sering membantu saat dia kesulitan.

Dan Regha adalah cowok pertama selain ayahnya yang membuat dia tersenyum dan tertawa. Hanya Regha, tidak ada yang lain.

"Selesaiin soal yang gue kasih tadi." ujar Retta mengalihkan ke hal yang lain, dia belum siap menjawab.

Regha memiringkan kepala, menunduk menatap kepala Retta yang semakin tertunduk.

"Gue mau jawabannya sekarang, Ta." Dari intonasi suaranya Retta tahu bahwa Regha menunggu.

Bibirnya terasa kaku, Retta terdesak dia bingung dengan perasaannya sendiri, dia takut mengambil keputusan yang akan membuatnya menyesal nanti.

Apakah ia menyesal jika dia mengakui perasaannya pada Regha atau dia akan merasa menjadi orang paling bahagia di dunia?

Sorot lembut dan menunggu terpancar jelas di bola mata hitam pekat itu. Menghela napas, mungkin saat ini Retta akan mengikuti kata hatinya, mengikuti perasaan yang dia alami saat bersama Regha. Ya, Retta akan mengikuti bisikan hatinya.

"Gue juga suka sama lo," ucap Retta pelan dan terlihat malu-malu, dia semakin dalam menunduk.

Dari satu kalimat itu berhasil menarik semuanya, menarik mereka ke hubungan lebih dari teman. Menarik mereka ke dalam masalah dan kesalahan. Kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi.

TBC(26-10-17)
Aping🐼

|1| For Regret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang