When...

101 4 1
                                    

Langkah-langkah kecilnya dipercepat, berusaha melangkah ke dalam gedung yang sudah berada sepuluh meter di hadapanya. Hari ini entah Senin ke berapa ia mengikuti upacara bendera sebagai acara rutin tiap senin pagi. Tapi tetap saja masih banyak siswa yang melintas di depannya walau jam sudah menunjukkan pukul setengah 8 pagi.

Ia jelas tak ingin di hukum dan menjadi perhatian karena terlambat mengikuti upacara. Maka saat bel berbunyi ketika langkahnya hampir mendekati gerbang, ia berlari. Ia sudah hafal tempat upacara kelasnya, tepat di depan tiang bendera.

Dengan jantung berdegub kencang, takut-takut Bu Pur selaku guru tata tertib memergokinya telat, ia langsung berlari menuju ke bawah pohon di samping kursi panjang untuk menaruh tasnya. Ia berusaha mencari celah untuk tas hitamnya diantara barisan tas yang ada disana, lalu ia mengeluarkan topi dari dalam tasnya.

Masih dengan nafasnya yang memburu, ia berbalik untu mencari manakah barisan kelasnya. Tepat ketika ia mengedarkan pandangannya ke barisan yang hampir terisi penuh, ia menemukan wajah Mega juga menatapnya.

“Mel!” Gadis berambut sebahu yang saat itu mengenakan jam tangan berwarna merah melambaikan tangannya, menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam barisan.

Tanpa menunggu lama, ia mengangkat tangannya bermaksud untuk memakai topi yang ia bawa. Namun saat kakinya baru saja mengambil dua langkah pendek, sesuatu yang berjalan menubruk bahu kirinya dengan sangat, super kuat. Bisa ia tebak, jika sesuatu itu pasti sedang berjalan dengan cepat, atau berlari.

Tubuhnya yang bahkan sudah berputar arah 90 derajat itu hampir saja menyungkur di atas lantai semen lapangan basket, kalau saja kakinya tidak terlalu kuat menahan beban tubuhnya. Kali ini tantenya benar soal manfaat sarapan.

“Lo rabun, ya?! Jalan tuh pake mata!?”

Gila! Melody langsung pusing setelah mendengar suara itu berteriak di balik punggungnya, bahkan punggungnya langsung merinding seketika. Melody yang awalnya ingin berbalik untuk mengetahui siapa orang, yang tadi ia kira sesuatu, yang menabraknya. Namun seketika nyali Melody menciut.

Mengetahui yang diajak bicara tidak berbalik, laki-laki yang menggenggam dasi di tangan kirinya itu berdecak kesal, menatap sekilas punggung yang menghentikan langkahnya sebelum kembali mengambil langkah lebar ke barisannya, sebelum Bu Pur kembali mengamuk.

Kerutan di dahi Melody langsung hilang ketika punggung sosok itu  tertangkap manik matanya. Rasa panas pada bahunya semakin menjadi ketika ia mengenali siapa sosok itu. Ia mengenalnya. Orang yang paling dihindari Melody, terutama gerombolan yang selalu bersamanya. Perusuh, arogan, dan attention seeker.

Tahu-tahu moodnya langsung hancur, ia membenahi topi sebelum berjalan dengan wajah masam di samping Mega.

Mega yang berada di sisi kiri gadis berkuncir satu itu mengusap pelang bahu kirinya. Ia tadi menyaksikan bagaimana Arsa menabrak keras tubuh Melody, dan meneriaki gadis itu. Beberapa pasang mata yang awalnya tidak melihat ke arah mereka langsung menoleh saat mengenali siapa yang tengah berteriak di belakang barisan.

“Udah, Mel. Lo tau kan dia Arsa?”

Melody menetralkan debaran jantung dan nafasnya yang memburu. Mega benar, dirinya jelas tak ingin mencari masalah dengan biang masalah yang dihindari seluruh sekolah. Bukan karena dia takut, tapi Arsa itu model orang yang otot lebih cepat daripada otak. Sumbu pendek.

Melody membasahi bibirnya sebelum mengangguk dan merasakan tepukan di kedua bahunya. Namun saat komando dari pemimpin upacara terdengar, Melody menangkap sosok Arsa yang sedang membenahi dasinya. Dua detik dia memperhatikan sosok itu dari samping, sebelum tangan-tangan terangkat dan mengembalikan kesadarannya untuk ikut hormat.

Dahinya makin mengrenyit bingung. Kenapa ia begitu mengenali sosok itu?

***

A Melody of RaphsodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang