Melody benar-benar pergi ke perpustakaan sepulang sekolah. Pick gitar itu bukan benda biasa bagi Melody. Bisa dibilang itu adalah jimatnya. Entahlah, sebenarnya ia tak terlalu percaya pada hal semacam itu, namun kepercayaan dirinya selalu tumbuh lebih besar ketika ia memegang pick gitar itu.
Dan alasan lainnya adalah agar Arsa bisa cepat pergi dari hidupnya.
Melody langsung mengisi buku absen ketika masuk ke dalam perpustakaan. Pak Hengki-penjaga perpus yang baru sedang menyusun sebuah buku di belakang meja tinggi itu.
Perpustakaan sepi, hanya alunan instrumen musik yang mengisi seluruh sudut ruangan. Salah satu ciri perpustakaannya.
Dan Arsa di sana, duduk di atas meja dengan sebelah kaki ia tumpukan pada kursi perpustakaan. Ia terlihat membaca buku dan membelakanginya. Melody tanpa sadar mengambil nafas sebelum melangkah mendekati Arsa.
Seperti menyadari kedatangan seseorang, Arsa turun dari meja dan membalikkan badannya. Senyuman miring langsung menjadi sambutan pertama bagi Melody.
Arsa lalu meletakkan buku yang ia pegang di atas meja.
"See, yah walaupun lo ngeblock Line gue."
Melody berjalan makin mendekat, namun tak menyembunyikan kekesalannya pada laki-laki di depannya.
"Karena gue tau cowok setipe elo yang berisik kalo nggak dituruti," Melody berhenti tepat di depan Arsa setelah memutari kursi.
"Mana pick gitar gue?" ia menengadahkan tangannya.
"Lo bisa main gitar?"
"Nggak." Jawab Melody ketus.
"Terus pick itu buat apa dong?"
Melody berdecak. "Mau gue jadiin gantungan kunci! Elah nanya mulu, mana, siniin!"
Arsa terkekeh. Laki-laki itu merogoh saku celananya. Mengapit pick itu diantara jari telunjuk dan ibu jari. Mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahnya.
"Pick ini jelek. Gue nggak suka warnanya," Arsa tengah mengamati benda pipih itu dengan kening berkerut. Seolah tengah meneliti benda tersebut.
"Sumpah ya, lo tuh ngeselin!" Melody menjatuhkan tangannya di sisi tubuh.
"Gimana kalo gue beliin yang baru? Warna biru dan ada nama gue sama nama lo?"
Lalu tatapan kesalnya tertuju lurus pada laki-laki di depannya yang tengah memberikan senyuman paling buruk yang pernah Melody lihat. Matanya berkilat jahil dengan satu alis yang terangkat sedangkan satu sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seringaian yang membuat perasaan Melody tiba-tiba berubah buruk.
"Gak!" jawab Melody ketus.
Arsa menurunkan tangannya. Ia mengambil satu langkah maju dan mempersempit jaraknya dengan Melody. Dan perempuan yang sore ini mengikat rambutnya tak gentar, ia tak mengambil langkah mundur, malah mengangkat dagunya lebih tinggi agar tatapannya tak terputus dengan Arsa.
"Gue balikin pick jelek lo ini," Arsa mengangkat tangannya lagi, menunjukkan benda pipih itu pada Melody. "dengan satu syarat."
Melody menatap antara pick dan Arsa secara bergantian. Teguh pada pendiriannya, dan terkesan egois.
Udah iyain aja biar cepet.
Melody mengakat alisnya sekilas, sebagai tanda jika ia ingin mengetahui apa syarat dari Arsa. Ia enggan bersuara, enggan terdengar antusias.
"Unblock Line gue dan makan sama gue besok di kantin." Arsa menggeser tangannya, ingin mengetahui ekspresi lawan bicaranya.
Sesuai dugaan, Melody sudah tentu akan mengerutkan wajahnya sebagai tanda ia tak menyetujui syarat Arsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Melody of Raphsodies
Teen FictionSekuat apapun kamu menjaga, yang pergi akan tetap pergi. Sekuat apapun kamu menolak, yang datang akan tetap datang. Semesta memang kadang senang bercanda. -Sujiwo Tejo-