"Sudah berapa kali kamu masuk ruang BK bulan ini?”
“Lima?” dahinya berkerut, hingga alisnya yang tebal hampir menyatu. “atau tujuh?”
Pak Herdi melepas kacamatanya. Memijat pangkal hidungnya dengan mata yang terpejam. Beliau tak habis pikir bagaimana pemikiran para remaja jaman sekarang. Membolos kalau ingin, menjalankan hukuman semaunya, semuanya serba main-main. Apalagi siswa yang dua tahun ini tak pernah absen masuk ke ruang BK.
“Kalau kamu bukan anak Pak Gilang,”
Arsa yang sedang memperhatikan tali sepatu yang tampak lebih pendek pagi ini, langsung mendengus. Segala tentang dirinya selalu menyangkut nama orang tuanya. Kalimat perandaian yang lama-kelamaan membuatnya muak dan berasap.
Ia tak pernah meminta pada orang tuanya untuk disekolahkan di sini, kebetulan saja mereka memilikinya dan merasa tak perlu mencarikan sekolah yang lebih baik dari sekolah mereka. Awalnya ia merasa berkuasa, semua orang tunduk padanya detik pertama ia menginjakkan kaki di sekolah ini. Nama belakangnya adalah power untuk mendapatkan apapun yang ia mau.
Ia akan memilih meja dan mengklaimnya, memilih menu makanan di kantin tanpa perlu untuk membayar. Karena mereka tahu siapa nama belakangnya. Halimwidjaya. Ia tak pernah memiliki senior, malah ia yang menjadi senior dalam masa junior. Ia tak pernah menarik kedua ujung bibirnya, hanya menukikkan satu ujung dengan mata yang tajam.
Hingga semua menyadarkan jika ia tak pernah benar-benar dianggap.
Dia tak pernah memakai baju dengan rapi dan sepatu berwana, tapi anehnya tak ada yang berusaha menegurnya. Jadi ini yang namanya jika uang dan jabatan yang berbicara. Lalu ia berfikir jika sebagai penerus Halimwidjaya ia harus membuat mereka bekerja.
Sisi egonya mengatakan jika ia tak ingin nama Halimwidjaya yang membuatnya menjadi ditakuti atau dihormati. Sebagai seorang laki-laki, ia ingin jika dirinya, Arsasena yang semua orang lihat. Bukan anak sulung Gilang Septian Halimwidjaya
Membolos, datang telat, mengacaukan kelas dan berkelahi. Dia mengalami peningkatan, keluar masuk ruang BK dengan membawa berlembar kertas HVS dan bulpoin. Mendengarkan ceramah dari para orang tua dan mendengarkan kalimat itu berkali-kali.
“Kenapa kalau saya bukan anaknya Pak Gilang?” Arsa menyandarkan punggungnya. Menatap Pak Herdi tepat dimatanya.
Pak Herdi menggelengkan kepalanya lelah, beliau memakai kembali kacamatanya. Lalu menarik keluar beberapa kertas HVS dari wadahnya.
“Tulis permintaan maaf kamu karena merokok di kantin, dalam tiga bahasa.”
Arsa hanya menatap kertas yang diletakkan Pak Herdi di hadapannya. Mungkin ada lebih dari lima lembar yang harus ia tulis, tidak benar-benar ia tulis. Namun ia merasakan ini lagi, sebuah pembedaan yang membuatnya belum puas.
“Saya nggak di skors?”
“Itu hukuman kamu. Kumpulkan saja sepulang sekolah di sini.”
Lagi-lagi Arsa mendengus dengan seringaian lebar. Pertanyaannya retorik, tak memerlukan jawaban. Ia tak ingin lebih lama berada di sini, walaupun ruangannya berAC. Ia bangkit seraya mengambil tumpukan kertas di atas meja dan berjalan keluar ruangan. Lalu saat menutup pintu ruangan ia sengaja membantingnya, sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Namun Pak Herdi tak pernah repot untuk menghampirinya dan memarahinya. Menambah hukuman dan menyaksikan Arsa berpeluh dalam menjalankan hukumannya.
Karena kamu anak Pak Gilang.
Dia tidak butuh kalimat itu tiap masuk ke dalam ruang BK. Demi Tuhan ia masih ingat betul jika Gilang adalah nama papanya, dan Miranda adalah nama ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Melody of Raphsodies
Teen FictionSekuat apapun kamu menjaga, yang pergi akan tetap pergi. Sekuat apapun kamu menolak, yang datang akan tetap datang. Semesta memang kadang senang bercanda. -Sujiwo Tejo-