[]Anya terpaksa bolos satu mata pelajaran dengan dalih tidak enak badan. Anya juga sudah meminta izin pada ketua kelas begitu bel berbunyi dan menolak untuk ditemani.
Anya tidak sepenuhnya bohong, ia memang sakit. Meski bukan di fisik melainkan hatinya yang terasa dihunjam sesuatu.
Dihunjam keadaan yang mengharuskan Anya menyesal di saat yang bersamaan. Anya juga tahu ia telah terlambat untuk menyadari kalau Arka berharga untuknya.
Arka yang menjauh, Arka yang perlahan hilang dari jangkauannya, dan Arka yang tidak bisa untuk ia gapai lagi.
"Anya ... lo sakit apa?" tanya Fera selaku pengurus UKS begitu melihat sosok Anya, tangannya dengan sigap memegang kedua sisi tubuh Anya.
Anya bergumam sebelum menjawab, "Gue cuma kecapean doang, Fe. Butuh tidur."
Fera mengangguk pelan. "Gue ambilin teh anget aja kalau gitu, mau?"
"Boleh deh. Makasih, Fe."
"Nggak masalah." Fera tersenyum. "Oh iya, lo nggak sendirian kok. Ada adek kelas yang lagi tidur di sini," jawab Fera sambil merapikan obat-obatan di lemari khusus.
"Dia bolos?"
Fera menggeleng, "Sama kayak lo, kecapean. Gue tinggal, ya."
Saat Fera melenggang ke luar UKS, air mata Anya mengalir. Tenggorokannya terasa sakit ketika Anya berusaha mati-matian untuk tidak menangis di depan Fera.
"Anya Lanadiva."
Anya baru akan menarik tirai salah satu bilik yang akan ditempatinya ketika sebuah suara menyerukan nama lengkapnya.
Suara cowok?
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkanya [End]
Short StorySeri #1 Baik Anya maupun Arka, keduanya tidak lepas dari kata penyesalan dan kehilangan. #AuthorNote : If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this...