Aku tidak pernah menemukan kasus seperti ini sebelumnya. Biasanya, orang yang meninggal memang akan mulai melupakan ingatannya semasa hidup, tapi tidak di awal empat puluh hari setelah kematiannya.
Justru saat itulah, mereka yang mati selalu merengek untuk mengunjungi orang-orang yang mereka sayangi sebelum benar-benar meninggalkannya.
Tapi pria itu bahkan tidak ingat siapa namanya, atau apa pekerjaannya.
***
Aku bergabung kembali pada teman-temanku setelah menaruh secarik kertas bertuliskan alamat rumahku untuk pria tadi.
"Kamu bisa menyentuh semua benda yang pernah aku sentuh."
Itulah alasannya kenapa dia bisa meminum es kopi yang kubawa, dan bisa menerima secarik kertas yang kuberikan. Tapi mungkin dia tidak akan bisa meneleponku kalau aku memberikan nomor teleponku.
Waktuku hanya empat puluh hari untuk bisa menolongnya, kalau tidak ingin mereka kembali menghantui sepanjang malamku sampai aku menemukan target berikutnya.
Aku sadar aku sangat membutuhkannya. Aku hanya harus berusaha agar pria itu merasakan hal yang sama terhadapku.
***
Sampai tiga hari berikutnya, pria itu tidak datang juga.
Aku mulai khawatir.
Tiga puluh tujuh hari bukanlah waktu yang lama. Untuk itulah, di hari Sabtu siang, aku sengaja mengunjungi rumahnya yang kutau dari rumah sakit. Tapi aku bukan siapa-siapa, dan aku tidak bisa masuk begitu saja ke rumahnya.
"Permisi, bu." Aku bertanya pada seseorang yang kebetulan keluar dari rumah itu. "Ibu pemilik rumah ini?"
"Oh bukan, neng. Saya kerja di sini."
"Oh gitu. Boleh tanya gak bu, katanya di rumah ini ada yang baru aja meninggal tiga hari yang lalu ya, bu?"
Perempuan itu kemudian memasang wajah sedih, lantas menjawab dengan nada yang mengecil. "Iya neng, Mas Dimar yang meninggal."
Itu dia. Namanya Dimar.
"Mas Dimar meninggal gara-gara kecelakaan motor. Neng ini temennya, ya? Mau ketemu ibu?"
"Oh iya, ibu gimana keadaannya?"
Perempuan itu menoleh ke belakang, ke arah rumah dengan ekspresi yang semakin sedih. "Ibu kasian, neng. Ibu sekarang lagi sakit karena kepikiran Mas Dimar terus."
Ah, itu dia. Mungkin aku harus membantu ibu Dimar hingga ia benar-benar bisa mengikhlaskan kepergian Dimar. Tapi bagaimana caranya, ya?
"Neng mau nengokin ibu? Yuk, masuk."
Perempuan itu hampir membawaku masuk sebelum aku akhirnya menolak ajakannya. "Nggak bu, lain kali aja." Lalu aku menanyakan dimana Dimar dikuburkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Day
Short StorySaat teman-temanku melihat ke arah korban kecelakaan, aku melihat seseorang di belakang kerumunan, memandang naas tubuhnya sendiri.