Beberapa hari kemudian, aku berpapasan dengan Eiffel di koridor sekolah. Dia, meski sedang sibuk membawa beberapa tumpuk buku pelajaran, kuganggu dengan pertanyaan konyolku.
"Kamu siapa?"
***
Aku menerima sebotol air mineral yang Eiffel sodorkan padaku. Kami sedang duduk di depan perpustakaan, memandang ke arah lapangan dari lantai dua.
"Kamu sakit?"
Pertanyaan Eiffel membuat kepalaku terasa lebih pening dari sebelumnya. Ini sudah hampir hari ke tiga puluh, dan aku belum menemukan alasan kenapa Dimar belum juga bisa pergi dengan tenang. Terutama setelah tau seluruh isi kamarnya, tapi belum mendapatkan petunjuk selanjutnya.
Mereka mulai muncul, berdatangan di sela-sela mimpi indahku. Bagaimana bisa aku baik-baik saja?
"Sehat."
Eiffel manggut-manggut. Sesekali ia membetulkan posisi kacamatanya yang melonggar. "Hari ini kamu pucet," katanya tanpa melirik ke arahku.
Aku mengabaikan komentarnya, meski sadar penampilanku pasti sudah seperti mayat hidup dibandingkan manusia. Tapi aku masih punya banyak pertanyaan untuk Eiffel. "Aku suka sama kamu,"
Eiffel tampaknya terkejut karena aku mengatakan hal itu tiba-tiba, tapi ia berhasil mengendalikannya. "Aku tau kok,"
Rasanya aku agak sesak begitu dia menjawab kata-kataku dengan ekspresi yang santai. "Aku suka sama kamu, udah lama banget."
"Iya, aku tau,"
"Sejak aku kelas 6 SD."
Kali ini, Eiffel tidak membalasku dengan kata-kata, tapi ekspresinya menjawab semuanya. Dia menoleh, menatapku lamat-lamat dengan alis berkerut.
"Kamu ngomong apa? Kita kan baru ketemu waktu SMA,"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Day
Short StorySaat teman-temanku melihat ke arah korban kecelakaan, aku melihat seseorang di belakang kerumunan, memandang naas tubuhnya sendiri.